Senin, 27 Januari 2014

Jalan Santri Menjadi Ulama'

Potensi Santri
Melihat sejumlah santri yang berduyun-duyun berjalan menuju masjid, atau ketika melihat mereka duduk rapi berbaris pada shaf-shaf yang lurus menanti imam berdiri untuk memimpin shalat berjamaah, fenomena seperti ini buat pencari bakat seperti melihat gunung emas.
Gunung emas sangatlah bernilai, namun nilainya baru akan terasa dan dinikmati ketika pasir dan biji emas itu sudah dilebur dan diolah menjadi emas batangan, atau dibentuk oleh tangan-tangan ahli para pengrajin hingga menjadi cincin, kalung, gelang, dan bentuk-bentuk kerajinan lain seperti hiasan.
Itulah santri-santri di pondok-pondok pesantren. Berbekal kemauan keras, keikhlasan, kesungguhan, ketekunan, kesederhanaan, ketawakkalan dan nawaitu yang mulia, mereka mulai nyantri di pondok-pondok pesantren. Bekal yang disebutkan tadi itu, jika boleh dikisakan, dapat dikiaskan bagaikan butir dan biji emas yang terurai di sungai-sungai dan perut-perut bumi.
Betapa tidak, modal-modal seperti itulah yang di butuhkan seseorang untuk menjadi pakar dan cendikiawan. Atau bermodalkan hal dan sifat seperti itu Muhammad bin Idris menjadi Imam al-Syafi’I, Muhammad ibn Ismail menjadi Imam al-Bukhori, Yahya ibn Syaraf menjadi Imam al-Nawawi, ahmad ibn Ali menjadi al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqallani, Abdurrahman ibn Abi Bakar menjadi Jaluddin al-Suyuti.
Bacalah sejarah para imam-imam tadi, rasanya, masa-masa remajanya tidak jauh berbeda dengan kondisi dasar keilmuan seorang santri di pondok pesantren manapun.
Fenomena Terbalik
Yang terjadi dan Nampak jelas terlihat, potensi-potensi itu banyak sekali yang terbuang, hanyut terbawa arus. Wal hasil, ketika biji-biji emas yang awalnya bertumpukan pada satu tempat tertentu, terbawa arus sungai yang mendorongnya jauh terdampar ratusan kilometer dari tempat asal. Akibatnya, tumpukan itu berubah menjadi butiran. Lalu, apakah arti sebuah biji emas yang sekecil itu.
Emas adalah emas, emas tetaplah emas. Tapi sekali lagi, cincin emas seberat 1 gram saja, lebih berharga ketimbang sebutir pasir emas. Pasir-pasir emas itulah yang akhirnya mengalir dari pesantren ke muara-muara sungai kehidupan dan kemasyarakatan.
Hasilnya, banyak santri yang hanya pandai memimpin tahlil, memimpin do’a dan menjadi imam shalat di musholla atau masjid kampungnya. Mereka puas dengan hasil seperti ini, meski sudah nyantren puluhan tahun di sebuah pondok pesantren.
Sekali lagi, memimpin do’a, memimpin tahlil, menjadi imam, bukanlah pekerjaan-pekerjaan yang kurang baik apalagi hina. Semua itu merupakan amalan yang mulia, namun hal-hal tadi bukanlah pekerjaan, bukan profesi.
Seharusnya, pasir dan biji emas itu diolah, diramu, diracik lalu dikemas menjadi barang dan perhiasan benilai tinggi.
Ketika seorang santri belum lagi menjadi santri, mereka dapat diumpamakan sebagai butir pasir, dan bij besi. Barulah melalui prosesing pendidikan dasar, mereka menjadi biji emas.
Karena itu, jangan biarkan proses ini selalu gagal atau banyak gagalnya. Gantilah alat yang sudah kadaluarsa. Gunakan alat-alat canggih yang tetap menjadikan emas tetap emas. Gunakan metode dan cara baru yang lebih baik. Gunakan kitab yang tidak lagi harus berkertas kuning, putihpun tidak masalah, tidak mengurangi bobot ketika kitab Arab tadi sudah tidak lagi gundul. Gunakan komperasi sebagai pertimbangan. Jawablah tantangan sesuai zamannya.
Mengapa ?
Imam Syafi’I tidaklah menjadi imam mazhab ketika masih harus mengikuti alur pikir imam malik dan Imam Abu hanifah sebagai pendahulunya. Begitu juga dengan hamper semua pakar dan ulama yang terkenal dan sangat dihormati. Sebutlah Imam al-Ghazali, Imam al-Rafi’I, Imam al-Nawawi, mereka tidak akan mendapatkan predikat sebagai Aimmah al-Mazhab al-Syafi’I jika tidak dapat memilih, memilah, mentarjih dan menguatkan pendapat tertentu. Karenannya banyak sekali pendapat mereka yang tidak sama dengan pendapat Imam al-Syafi’I sendiri.
Dalam bidang disiplin Hadits, antara Imam Ahmad, Imam al-Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Tirmidzi ada talian guru dan murid. Namun talian yang erat ini sama sekali tidak menghalangi mereka untuk berkarya dan kadang-kadang berbeda pendapat dan berbeda metodologi.
Demikian pula halnya dengan al-Hafiz al-Iraqi, Ibn Hajar, al-Sakhawi dan al-Suyuti. Antara mereka ada talian guru dan murid. Namun banyak ditemukan perbedaan pendapat antar mereka. Hal itu tanpa mengurangi hormat mereka kepada guru mereka masing-masing.
Indoneisa, dengan sekian ribu pesantren dan puluhan perguruan tinggi, nyaris belum melahirkan cendikia sekelas Imam al-Suyuti atau al-Nawawi, apalagi sekelas Ibn Hajar dan al-Ghazali. Atau sekelas al-Qardhawi dan al-Zuhayli sekarang. Ulama-ulama kita yang ada, kebanyakan masih hasil pendidikan di luar negeri, Timur-tengah khususnya.
Menata
Jika demikian adanya, bukankah sudah seharusnya para santri lebih mempersiapkan diri menghadapi tantangna yang lebih besar.
Bukankah seharusnya di benak pikiran santri tertanam semboyan untuk menjadi orang yang terbaik. Terbaik sesuai apa yang digariskan Rasulullah SAW. Bacalah hadits-hadits di bawah ini :
خيركم من تعلم القرآن وعلمه
خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي
من حسن اسلام المرء تركه ما لا يعنيه
  • Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya ( HR. Al-Bukhori )
  • Sebaik-baik kalian adalah yang lebih bermanfaat untuk sesame ( HR. An Nasa’I )
  • Diantara kebaikan seseorang adalah meninggalkan pekerjaan yang tidak layak / tidak ada kepentingannya (HR. Muslim )
Bukan hanya ditemukan di hadits-hadits Rasulullah SAW saja, akan tetapi banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang bermaksudkan sama. Bacalah ayat di bawah ini :
تَعْمَلُونَ كُنْتُمْ بِمَا فَيُنَبِّئُكُمْ وَالشَّهَادَةِ الْغَيْبِ عَالِمِلَىٰ إِ وَسَتُرَدُّونَ وَالْمُؤْمِنُونَ وَرَسُولُهُ عَمَلَكُمْ اللَّهُ فَسَيَرَى اعْمَلُوا وَقُلِ
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan ( QS al-Taubah 9:105 )
 (3) بِالصَّبْرِوَتَوَاصَوْ الْحَقِّبِ وَتَوَاصَوْا الصَّالِحَاتِ وَعَمِلُوا آَمَنُوا الَّذِينَ إِلَّا (2)  خُسْرٍ لَفِي الْإِنْسَانَ إِنَّ (1)  وَالْعَصْرِ
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).

( Dr.Ahmad Luthfi Fathullah,M.A )


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar