Senin, 16 Desember 2013

HUBUNGAN ANTARA DOSA DAN BENCANA

Oleh : A.Reza Hutama AL-Faruqi

Surat Asy-Syu’aro ayat 88-89:
(Yaitu) di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali bagi orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Asy-Syu’ara’: 88-89)
Dalam makalah ini saya akan membahas tentang hubungan antara dosa dan bencana yang menimpa umat manusia sebagaimana yang diterangkan di dalam Al-Qur’an. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman dalam Surat Ar-Ruum ayat 41 yang berbunyi:
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Allah juga berfirman dalam Surat An-Nahl ayat 112:
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”
Seorang ulama’ yang bernama Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu memberi ulasan terhadap kedua ayat tersebut dengan mengatakan: “Ayat-ayat yang mulia ini memberi pengertian kepada kita bahwa Allah itu Maha Adil dan Maha Bijaksana, Ia tidak akan menurunkan bala’ dan bencana atas suatu kaum kecuali karena perbuatan maksiat dan pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah” (Jalan Golongan Yang Selamat, 1998:149)
Kebanyakan orang memandang berbagai macam musibah yang menimpa manusia hanya dengan logika berpikir yang bersifat rasional, terlepas dari tuntutan Wahyu Ilahi. Misalnya terjadinya becana alam berupa letusan gunung berapi, banjir, gempa bumi, kekeringan, kelaparan dan lain-lain, dianggap sebagai fenomena kejadian alam yang bisa dijelaskan secara rasional sebab-sebabnya.
Demikian dengan krisis yang berkepanjangan, yang menimbulkan berbagai macam dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masyarakat tidak merasakan kehidupan aman, tenteram dan sejahtera, hanya dilihat dari sudut pandang logika rasional manusia. Sehingga, solusi-solusi yang diberikan tidak mengarah pada penghilangan sebab-sebab utama yang bersifat transendental yaitu kemaksiatan umat manusia kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala Sang Pencipta Jagat Raya, yang ditanganNyalah seluruh kebaikan dan kepadaNya lah dikembalikan segala urusan.
Bila umat manusia masih terus menerus menentang perintah-perintah Allah, melanggar larangan-laranganNya, maka bencana demi bencana, serta krisis demi krisis akan datang silih berganti sehingga mereka betul-betul bertaubat kepada Allah.
Marilah kita lihat keadaan di sekitar kita. Berbagai macam praktek kemaksiatan terjadi secara terbuka dan merata di tengah-tengah masyarakat. Perjudian marak dimana-mana, prostitusi demikian juga, narkoba merajalela, pergaulan bebas semakin menjadi-jadi, minuman keras menjadi pemandangan sehari-hari, korupsi dan manipulasi telah menjadi tradisi serta pembunuhan tanpa alasan yang benar telah menjadi berita setiap hari.
Pertanyaannya sekarang, mengapa segala kemungkaran ini bisa merajalela di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim ini? Jawabannya adalah tidak ditegakkannya kewajiban yang agung dari Allah Subhannahu wa Ta'ala yaitu amar ma’ruf nahi mungkar, secara serius baik oleh individu maupun pemerintah sebagai institusi yang paling bertanggung jawab dan paling mampu untuk memberantas segala macam kemungkaran secara efektif dan efisien. Karena pemerintah memiliki kekuatan dan otoritas untuk melakukan, meskipun kewajiban mengingkari kemungkaran itu merupakan kewajiban setiap individu muslim sebagaimana sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
Artinya: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu ubahlah dengan lisannya, bila tidak mampu ubahlah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (Hadits shahih riwayat Muslim)
Namun harus diketahui bahwa memberantas kemungkaran yang sudah merajalela tidak hanya dilakukan oleh individu-individu, karena kurang efektif dan kadang-kadang beresiko tinggi. Sehingga kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar itu bisa dilakukan secara sempurna dan efektif oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Usman bin Affan Radhiallaahu anhu , khalifah umat Islam yang ketiga:
“Sesungguhnya Allah mencegah dengan sulthan (kekuasaan) apa yang tidak bisa dicegah dengan Al-Qur’an”
Disamping itu amar ma’ruf nahi mungkar merupakan salah satu tugas utama sebuah pemerintahan, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Sesungguhnya kekuasaan mengatur masyarakat adalah kewajiban agama yang paling besar, karena agama tidak dapat tegak tanpa negara. Dan karena Allah mewajibkan menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar, menolong orang-orang teraniaya. Begitu pula kewajiban-kewajiban lain seperti jihad, menegakkan keadilan dan penegakan sanksi-sanksi atau perbuatan pidana. Semua ini tidak akan terpenuhi tanpa adanya kekuatan dan pemerintahan” (As Siyasah Asy Syar’iyah, Ibnu Taimiyah: 171-173).
Apabila kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar itu tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka sebagai akibatnya Allah akan menimpakan adzab secara merata baik kepada orang-orang yang melakukan kemungkaran ataupun tidak. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, dalam sebuah haditst Hasan riwayat Tarmidzi:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشَكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يُسْتَجَابَ لَكُمْ.
Artinya: “Demi Allah yang diriku berada di tanganNya! Hendaklah kalian memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar atau Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, lalu kalian berdo’a namun tidak dikabulkan”.
Demikian pula Allah menegaskan di dalam QS. Al-Maidah ayat: 78-79, bahwa salah satu sebab dilaknatnya suatu bangsa adalah bila bangsa tersebut meninggalkan kewajiban saling melarang perbuatan mungkar yang muncul di kalangan mereka.
Artinya: “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang perbuatan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat”
Yang dimaksud laknat adalah dijauhkan dari rahmat Allah Subhannahu wa Ta'ala . Dengan demikian supaya bangsa ini bisa keluar dan terhindar dari berbagai krisis dalam kehidupan di segala bidang dan selamat dari beragam musibah dan bencana, hendaklah seluruh kaum muslimin dan para pemimpin atau penguasa mereka, bertaubat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang perbuatan-perbuatan mungkar sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing, mentaati Allah Ta’ala dan menjauhi seluruh larangan-larangan dalam seluruh aspek kehidupan.

Kesimpulan
Kemaksiatan manusia kepada Allah Rabbul ‘Alamin merupakan penyebab utama terjadinya berbagai musibah yang menimpa umat manusia baik itu berupa bencana alam maupun krisis di berbagai bidang kehidupan.
 Satu-satunya jalan untuk terhindar dari segala musibah tersebut dan dapat menikmati kehidupan yang aman, tenteram, damai dan sejahtera adalah dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dalam seluruh aspek kehidupan yang ada dengan penuh ketundukkan, kecintaan dan keikhlasan.

Segala do’a dan istighatsah yang dilakukan umat Islam supaya bisa keluar dari segala macam musibah tidak akan dikabulkan oleh Allah kecuali bila kaum muslimin secara sungguh-sungguh memerintahkan kepada yang ma’ruf dan memberantas segala yang mungkar.

Senin, 04 November 2013

HAKEKAT MANUSIA DAN PENGEMBANGANNYA: (Pengembangan (Proses Pendidikan) Dimensi Hakekat Manusia, Pandangan Islam)


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Berbicara tentang manusia dan agama dalam Islam adalah membicarakan sesuatu yang sangat klasik namun senantiasa aktual. Berbicara tentang kedua hal tersebut sama saja dengan berbicara tentang kita sendiri dan keyakinan asasi kita sebagai makhluk Tuhan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘manusia’ diartikan sebagai ‘makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang’ (1989:558). Menurut pengertian ini manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk dapat menguasai makhluk lainnya demi kemakmuran dan kemaslahatannya. Dalam bahasa Arab, kata ‘manusia’ ini bersepadan dengan kata-kata nâs, basyar, insân, mar’u, ins dan lain-lain. Meskipun bersinonim, namun kata-kata tersebut memiliki perbedaan dalam hal makna spesifiknya. Kata nâs misalnya lebih merujuk pada makna manusia sebagai makhluk sosial. Sedangkan kata basyar lebih menunjuk pada makna manusia sebagai makhluk biologis. Begitu juga dengan kata-kata lainnya.
B. Rumusan Masalah
a)      Apa Pengertian dari Hakekat Manusia?
b)      Apa saja Pengembangan (Proses Pendidikan) Dimensi Hakikat Manusia?
c)      Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Manusin dan Pendidikan?
C. Tujuan
a)      Untuk Mengetahui Pengertian dari Hakekat Manusia
b)      Untuk Mengetahui Pengembangan (Proses Pendidikan) Dimensi Hakikat Manusia
c)      Untuk Mengetahui Pandangan Islam Terhadap Manusia dan Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hakekat Manusia
Hakikat manusia adalah sebagai berikut : 
1) Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
2) Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
3) Seseorang yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
4) Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai selama hidupnya.
5) Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati.
6) Individu yang mudah terpengaruh oleh lingkungan terutama dalam bidang sosial.[1]
B.    Pengembangan (Proses Pendidikan) Dimensi Hakikat Manusia
Pengembangan dimensi hakikat manusia menjadi tugas pendidikan. Pengembangannya dibagi menjadi 2 yaitu :
1.    Pengembangan yang utuh
Pengembangan yang utuh yaitu apabila pengembangan dimensi hakikat manusia itu terjadi secara utuh antara jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan dan keberagamaan, antara aspek koknitif, afektif dan psikomotorik. Semua dimensi-dimensi tersebut harus mendapat layanan dengan baik, tidak terjadi pengabaian terhadap salah satunya dalam hal ini dimensi keberagamaan menjadi tumpuan dari ketiga dimensi yang lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengembangan dimensi hakikat manusia yang utuh diartikan sebagai pembinaan terpadu terhadap seluruh dimensi hakikat manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara selaras. Maka secara totalitas dapat membentuk manusia yang utuh.
2.    Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh adalah proses pengembangan dimensi hakikat manusia yang tidak seimbang antara dimensi yang satu dengan yang lainnya, artinya ada salah satu dimensi yang terabaikan penanganannya.
Pengembangan yang tidak utuh akan menghasilkan kepribadian yang pincang dan tidak mantap. Pengembangan yang seperti ini merupakan pengembangan yang patologis atau tidak sehat.
C.    Pandangan Islam
1.    Pandangan Islam Terhadap Manusia
Menurut pandangan islam manusia adalah makhluk Alloh yang paling mulia dari pada yang lainnya. Ia bukan ada dengan sendirinya tetapi diciptakan oleh Alloh dengan dikaruniai sifat-sifat khusus yang tidak dimiliki oleh makhluq yang lain.
Alloh menciptakan manusia dalam bentuk fisik yang bagus dan seimbang. Sesuai dengan firman Alloh Surat Ath Thiin yang artinya : Sesungguhnya telah kami jadikan manusia itu dalam bentuk sebaik-baiknya (Q.S At tiin 4)
Dalam hubungan dengan pendidikan menurut pandangan islam manusia dapat kita lihat dari tiga titik saja yaitu : (Daradjat dkk, 2000 : 3).
a.    Manusia sebagai makhluq yang mulia
Manusia diciptakan oleh Alloh sebagai penerima dan pelaksana ajaran agama. Oleh karena itu ia ditempatkan pada kedudukan yang mulia. Untuk mempertahankan kedudukannya yang mulia dan bentuk pribadi  yang bagus itu Alloh melengkapinya dengan akal dan perasaan yang memungkinkan manusia menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan membudayakan ilmu yang dimilikinya.
Ini berarti manusia sebagai makhluq yang mulia dikarenakan manusia dikaruniai (1) akal dan perasaan (2) ilmu pengetahuan (3) kebudayaan yang seluruhnya dikaitkan kepada pengabdian pada pencipta, Alloh SWT.


1)    Akal dan Perasaan
Setiap orang menyadari bahwa ia mempunyai akal dan perasaan. Akal pusatnya di otak, digunakan untuk berfikir, perasaan pusatnya di hati, dalam kenyataan keduanya sukar dipisahkan.
Penggunaan akal dan perasaan dapat menentukan kedudukan seseorang dalam lingkungan sosialnya. Kemampuan berfikir dan merasa ini merupakan anugerah Alloh yang paling besar dan ini pulalah yang membuat manusia itu istimewa dan mulai dibandingkan dengan makhluq yang lainnya. Alloh menyuruh manusia berfikir baik tentang dirinya atau tentang alam semesta ini sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan.
2)    Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan adalah suatu yang diketahui oleh manusia melalui pengalaman, informasi, perasaan atau melalui intuisi. Ilmu pengetahuan merupakan hasil pengolahan akal (berfikir) dan perasaan tentang sesuatu yang diketahui itu.
Faktor terbesar yang membuat manusia itu mulia adalah karena ia berilmu dan menggunakan ilmunya dia dapat menguasai alam, meningkatkan iman dan taqwanya juga dengan ilmu.
3)    Kebudayaan
Islam memandang manusia sebagai makhluq pendukung dan pencipta kebudayaan. Dengan akal, ilmu dan perasaan ia membentuk kebudayaan dan mewariskan kebudayaan itu kepada anak turunnya.
b.    Manusia sebagai kholifah di bumi
Setelah bumi ini diciptakan, Alloh memandang perlu bumi itu didiami, diurus dan diolah. Untuk itu ia menciptakan manusia sebagai kholifah di bumi. Kemampuan bertugas ini adalah anugerah Alloh dan sekaligus merupakan amanat yang dibimbing dengan suatu ajaran yang pelaksanaannya merupakan tanggung jawab manusia yang bernama kholifah itu.
c.    Manusia sebagai makhluq PAEDAGOGIK
Mahluq paedagogik ialah mahluq Alloh yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik. Mahluq itu adalah manusia. Sehingga mampu menjadi kholifah di bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan. Ia dilengkapi dengan fitroh Alloh berupa bentuk yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluq yang mulia, pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah itu. Fitrah inilah yang membedakan manusia dengan mahluq yang lain dan membuat manusia itu istimewa dan lebih mulia dan sekaligus berarti bahwa manusia adalah mahluq paedagogik.
2.    Pandangan Islam Terhadap Pendidikan
Ahmad Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai suatu bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh guru terhadap perkembangan jasmani dan ruhani murid menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Rusn, 1988 : 54).
Menurut pandangan islam pendidikan itu sangat penting, karena syariat islam tidak akan dihayati dan diamalkan oleh umatnya kalau hanya diajarkan saja. Untuk itulah agar islam bisa diamalkan oleh umatnya tidak hanya teoritis tetapi juga praktis maka umat islam harus dididik melalui proses pendidikan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi SAW dalam mengajak orang untuk beriman dan beramal serta berakhlaq yang baik sesuai dengan ajaran islam dengan berbagai metode dan pendekatan. Sehingga beliau adalah seorang pendidik yang berhasil.[2]







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan hal-hal sebagai berikut
1.    Sifat hakekat manusia adalah ciri-ciri karakteristis yang secara prinsipil membedakan manusia dari hewan atau dari makhluq lainnya
2.    Wujudnya sifat hakikat manusia antara lain kemampuan manusia menyadari diri, kemampuan bereksistensi, mempunyai kata hati, moral, tanggung jawab, rasa kebebasan, kewajiban dan hak serta kemampuan menghayati kebahagiaan.
3.    Dimensi-dimensi sifat hakekat manusia ada 4 yaitu dimensi keindividuan, kesosialan, kesusilaan dan keberagaman.

4.    Pengembangan dimensi hakekat manusia ada dua yaitu : pengembangan yang utuh dan pengembangan yang tidak utuh.
5.    Menurut pandangan islam
·                       Terhadap manusia, manusia adalah :
a.       Sebagai mahluq yang mulia karena dikaruniai akal dan perasaan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan utuh mengabdi kepada Alloh.
b.      Sebagai kholifah dimuka bumi.
c.       Sebagai mahluq paedagogik
  • Terhadap pendidikan :
    Menurut pandangan islam pendidikan itu sangat penting, karena syariat islam dapat dihayati dan diamalkan oleh umatnya hanya dengan proses pendidikan seperti yang dilakukan olah Nabi SAW
    .
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Moh, 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Nganjuk: STAIM Press
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_12.html































[1] http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_12.html
[2] Mohammad Arif, Ilmu Pendidikan Islam, Nganjuk: STAIM Press, 2011,  hal. 7-10

Kamis, 31 Oktober 2013

Ulumul Qur'an

تاريخ نشأة علوم القرآن
الباب الأول
        الحمدلله على نعمه الظاهرة و الباطنة قديما و حديثا. و الصلاة والسلام على نبيه ورسوله محمد وآله وصحبه الذين ساروا في نصرة دينه سيرا حثيثا وعلى اتباعهم الذين ورثوا عملهم والعلماء ورثة الانبياء أكرم بهم وارثا وموروثا " يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ[1]." أما بعد
        بتوفيق الله ورحمته في اتمام هذا البحث العلمى بعد التوكل عليه فيقول الكانت المفتقر الى رحوة ربى وقد اطلعت بحمدالله تعالى على مامن هذا البحث العلمى بالعنوان : " تاريخ نشأة علوم القرآن " بكشف المشكلات التواريخية التي بين أيامنا الحاضرة.
فقد أخترت هذا البحث لمعرفة عن علوم القرآن لغة واصطلاحا وتاريخ نشأة علوم القرأن. توضيح العنوان
أراد الباحث شرح عن تعريف علوم القرآن لغة واصطلاحا وتعريف عن القرآن وتاريخ علوم القرآن ودلائله وتقسيم علوم القرآن.


الباب الثاني
معرفة علوم القرآن
        إن جملة علوم القرآن مركب إضافي يتكون من كلمتين الأول : كلمة { علوم } , هى جمع علم والعلم في اللغة مصدر بمعنى الهفم والمعرفة. وقيل العلم هو إدراك الشئ بحقيقته قوله تعالى " الَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُوْنَ كَمَا يَعْرِفُوْنَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيْقًا مِنْهُمْ لِيَكْتُمُوْنَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ"[2].
        والعلم في عرفي الندوين الباقى عبارة عن جملة من المسائل المضبوطة بجهة واحدة ماكانت وحدة الموضوع أم وحدة الغاية.
        القرآن طريق يحكى ان رجلا قرأ سورة الكهف وكانت في داره دابة التى تنفر ، فإذا سحابة قد غشيته فذكر ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال: " اقرأ فلان فإنها السكينة تنزلت عند القرآن."
أما علوم القرآن فهي    : 1-  علم التفسير
                          2-  علم أسباب النزول
                          3-  علم الناسخ والمنسوخ
                          4- وعلم غريب القرآن
        يتبادر في ذهن كل من ينظر إلى هذا التعبير الإضافى "علوم القرآن" أنه يدل لغة على أنواع العلوم التي تتصل بالقرآن الكريم. فما لتفصيل نقول ان العلوم جمع العلم، والعلم في اللغة مصدر عَلِمَ ، يعني إدراك الشئ بحقيقته[3] وهو يرادف الفهم والمعرفة ويرادف الجزم أيضا في الرأي[4] ويطلق العلم على مجموع مسائل الكلية وأصولها تجمعها جهة واحدة كعلم الكلام وعلم النحو وعلم الأرض وغيرها.
        فعلوم القرآن لغة إذن علوم تخدم معانى القرآن مباشرة وتوصل إليها أو تدور حوله أو تستمدّ منه فيدخل تحت هذا التعبير علوم كثيرة كعلم القراءات وعلم الرسم العثمانى وعلم التفسير وعلم أسباب النزول وغير ذلك من العلوم التعلقة بالقرآن الكريم. ولذلك اصبحت علوم القرآن بمعناها اللغوى كل علم يدرس القرآن كله من زاوية اختصاصه آية دراسة تفصيلية سمي هذا العلم "علوم القرآن" بلفظ الجمع ، لأنه خلاصة علوم متنوعة، بعضها مرتبط بالعلوم الدينية وبعضها مرتبط بالعلوم العربية ، حتى اننا النجد كل مبحث منه جديرا بأن يعد من مباحث علم من تلك العلوم[5].
        قلنا في أول الكتب وعند أول عروضنا لهذا المركب الإضافى أن المركب المسمى به شئ ما إذا أريد تمام التعريف به فأنه يجب ان ينظر اليه نظرتين ، أحدهما : حاله قبل التسمية وحيث يصلح أن يلاحظ في هذه الحال معنى التركيب وأنه في هذه النظرة يكون لكل واحد من الجزئين معنى يخصه وتكون ثمة رابطة بين الجزأين مصححة التراكيب ونظرة أخرى بعد التسمية وحيث يتناسى التركيب بالكلية فلا يصبح لكل من الجزأين معنى يخصه ولا تتصور بين الجزأين رابطة مصححة للتركيب كما كانت الحال قبل التسمية بل يصبح المركب بعد التسمية كالمفرد سواء بسواء فكما لاتنظر حين تسمى باسم مفرد كمحمد مثلا إلى أجزاء هذا الإسم والتي هي حروف المبان المؤلف للفظة ولاتتصور رابطة في هذه الأجزاء بين حروف وآخر فكذلك إذا سميت بالمركب لا تنظر بعد التسمية الى كل واحد من جزأته ولا الى الرابطة الجامعة بينهاما.
        عرف رحمه الله علوم القرآن بعد هذا التمهيد فقال : هو علم يتألف من مباحث تتعلق بالقرآن الكريم من ناحية نزوله وجهة وترتيبه وبيان الوجوه التي نزل عليها وأسباب نزوله وشرح غريبه ودفع الشبهات عنه وغير ذلك من كل ماله اختصاص به أ.ه[6]
تاريخ علوم القرآن
أ.عهد ما فيه التدوين
        لا شك أن معرفة الرسول صلى الله عليه وسلم وأصحابه رضي الله عنهم ، ان القرآن الكريم وعلومه توفق معارف العلماء اللاحقين من بعد ، إلا انهم توضيع كفنون مدوّنة ولم تجمع في كتب ومؤلفة لعدم حاجتهم إلى التدوين والتأليف. أما معرفته صلى الله عليه وسلم بالقرآن وعلومه فلأنه كان يتلقى الوحي عن الله تعالى وحده . قال الله تعالى : لَاتُحَرِّكُ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ # إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ # فَإِذَا قَرَأْنَهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ # ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ[7].وأما الصحابة رضي الله عنهم فيتلقون القرآن وعلومه عن الرسول صلى الله عليه وسلم . فشرح لهم الرسول القرآن بقوله وبعلمعه وبتقريره وبخلقه. ولما كان الصحابة رضي الله عنهم عربا خلصا حيث يمتازون بقوة في الحافظة وذكاء في القريحة وتذوق للبيان فأدركوا من علوم القرآن ومن أعجازه بسليقتهم وصفاء فطرتهم.
        وفي هذا العهد لم يكن علوم القرآن مدونا ، ذلك لأن أدوات الكتابة لم تكن ميسورة لدى الصحابة رضوان الله عليهم ولأن الرسول صلى الله عليه وسلم نهاهم عن كتابة شئ عنه غير القرآن روى الإمام مسلم في الصحيحة عن أبى سعيد الخدرى رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم  قال : " لا تكتب عنى ، ومن كتب غير القرآن فليمحه.وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متعمدا فليتبوأ مقعده من النار." فسبب هذا التحذير النبوى لم تكتب علوم القرآن كما لم يكتب الحديث الشريف ، مخافة عن يلتبس القرآن بغيره أو ان يختلط بالقرآن ماليس منه. ومع ذلك لم يقف الصحابة رضوان الله عليهم من بذل كل المجهود في نشر القرآن وعلومه مشافهة لا كتابة ، تلقينا لا تدوينا ومضى الأمر على ذلك عهد أبى بكر الصديق وعهد عمر بن الخطاب رضي الله عنهما.
ب. عهد التمهيد للتدوين
        اتسعت رقعة الخلافة الإسلامية في عهد الخليفة عثمان بن عفان رضي الله عنه واختلط العرب الفاتحون بالأمم التى لا تعرف العربية. فحدث ما حدث من الاختلاط الثقافى والحضارى إلى حد مخافة ذوبان خصائص العروبة واختلاف المسلمين في القرآن إن لم يجتمعوا على مصحف إمام ، فتكين فتنة في الأرض وفساد كبير.
        لهذا أمر رضي الله عنه ان يجمع القرآن في مصحف إمام و ان تنسخ منه مصاحف يبعث بها إلى أقطار الإسلام وأن يحرق الناس كل ما عداها ولا يعتمدوا سواها. بهذا العمل فقد وضع عثمان رضي الله عنه الأساس لما نسمية علم رسم القرآن أو علم الرسم العثمانى.
        وفي عهد علي بن أبى طالب لاحظ رضي الله عنه أن العجمة تخيف على اللغة العربية ، وسمع ما أوجس منه خيفة على لسان العرب فأمر أبا الأسود الدؤلى أن يضع بعض قواعد لحماية لغة القرآن من هذا العبث والخلل ، وخط له الخطط وشرع له المنهج وبذلك يمكننا ان نعتبر ان علياّ رضي الله عنه قد وضع الأساس لما نسمية علم النحو ويتبعه علم إعراب القرآن[8].
انقضى عهد الخلافة الرشيدة ، ثم جاء عهد بنى أميّة وكانت همة مشاهير الصحابة رضوان الله عليهم و التابعين رحمهم الله متجهة إلى نشر علوم القرآن بالرواية والتلقين. فلقوتها تعتبر تلك الهمة تمهيدا لتدوين علوم القرآن، وكان أول ما اتجه إليه هؤلاء في التدوين كتابة تفسير القرآن الكريم ، باعتباره أم العلوم القرآنية لما فيه من التعرض لها في كثير من المناسبات عند شرح الكتاب العزيز.
جـ. عهد تدين علوم القرآن
ظهرت في القرآن الثالث الهجري بحوث متفرقة في علوم القرآن . ومن مؤلفات المشهورة في ذلك القرآن ، هي :
1.   أسباب النزول ، تأليف الشيخ علي بن المدني ، شيخ الإمام البخارى
2.   الناسخ و المنسوخ ، تأليف الشيخ أبى عبيد القاسم بن سلام.
وفي القرون اللاحقة ظهرت تطورات الدراسات القرآنية وذلك بظهور المؤلفات في كل نوع من علوم القرآن كأقسام القرآن وامثال القرآن وبدائع القرآن ورسم القرآن وغير ذلك فأصبحت المؤلفات في تلك القرون ، هي :
1.   غريب القرآن ،  تأليف أبى بكر السجستانى ( القرن الرابع )
2.   إعراب القرآن ، تألبف علي بن سعيد الحوفى ( القرن الخامس )
3.   مبهمات القرآن ، تأليف أبى القاسم عبد الرحمن المعروف بالسيهيلى ( القرن السادس )
4.   مجاز القرآن ، تأليف ابن عبد السلام ( القرن السابع )
5.   القراءات ، تأليف علم الدين السخاوى ( القرن السابع )
6.   البرهان ي علوم القرآن ، تأليف بدر الدين الزركشي ( القرن الثامن )
وفي القرن التاسع ألف الإمام الدين السيوطى كتابا سماه التبحير في علوم التفسير ، ثم وسع بحوثه وأضاف إليها الكثير من أنواع علوم القرآن حتى أصبح كتابا ضخما فيما سماه بـــــــ " الإتقان في علوم القرآن " وفي القرون اللاحقة فترت الهمم وتوقفت النهضة في هذا العلم حتى جاء هذا العصر[9]. ولما تقررت دراسة علوم القرآن بوصفها فنا مستقلا في جامعة الإزهر الشريف بالقاهرة قام الأساتذة الأفذاذ بالكتابة والتأليف  في هذا العلم.
المراحل والفترات البارزة في الإهتمام بالقرآن الكريم ودراسته الى ما يأتى :
1.   المرحلة الأولى عصر الرسول والصحابة رضوان الله تعالى عليهم.،
2.   المرحلة الثانية عصر التابعين وتابعهم رضي الله عنهم
3.   المرحلة الثالثة عصر التدوين
4.   المرحلة الرابعة عصر الفترة الممتدة من عصر التدوين الى الحاضر
5.   المرحلة الخامسة عصر الحديث.
الباب الثالث
التلخيص
         أن علوم القرآن هو العلم الذي يتناول الأبحاث المتعلقة بالقرآن من حيث معرفة أسباب النزول ، و جمع القرآن وترتيبه ، ومعرفة المكى والمدنى ، والناسخ و المنسوخ ، والمحكم والمتشابه.
        أما علوم القرآن يتكون ، فهي : علم التفسير ، علم أسباب النزول ، علم الناسخ والمنسوخ ، وعلم غريب القرآن.
 تاريخ علوم القرآن هي :
1.   عهد ما قبل التدوين : عند عهد أبى بكر الصديق وعهد عمر بن الخطاب رضي الله عنه ،
2.   عهد التمهيد للتدوين : عند عهد الخليفة عثمان بن عفان،
3.   عهد تدوينة علوم القرآن 

مصادر البحث
القرآن الكريم
مناع القطان ، مباحث في علوم القرآن ، حقوق الطبع محفوظة 1411 ه- 1990 م
نور الدين عتر ، علوم القرآن الكريم ، الطبعة الأولى ( دمشق : دار الخير ، 1993 )
الدكتور موسى شاهين لاشين ، اللالئ الحسان في علوم القرآن ، الطبعة الأولى , ( القاهرة ، دارالشروق ، 2002 / 1423 )
محمد رجب ، حقائق حول القرآن ، دارالصحوة للنشر الطبعة الأولى 1407 ه- 1987 م
إبراهيم عبد الرحمن خليفة ، منة المنان في علوم القرآن ، الجزء الأول ، مطبعة الفجر الجديد
الشيخ محمد عبد العظيم الزرقانى ( المشهور بازرقانى ) ، مناهل العرفان في علوم القرآن ، المجلد الاول






 سورة المجادلة ، الآية 11[1]
 سورة البقرة ، الآية 146[2]
إبراهيم أنبس وغيره ، المعجم الوسيط ، الجزء الثانى، ( استانبل : المكتبة الإسلامية، دت )[3]
 الشيخ محمد عبد العظيم الزرقانى ( المشهور بازرقانى ) ، مناهل العرفان في علوم القرآن ، المجلد الاول[4]
 الدكتور موسى شاهدين لاشين ، اللالئ الحسان في علوم القرآن ، الطبعة الأولى ( القاهرة ، دا رالشروق ، 2002 / 1423 ) ص[5]
البيان ص 31[6]
 سورة الواقعة ، الآيات 1-16[7]
 الزرقانى ، مناهل العرفان ، المجلد الأول ، ص 30[8]
 موسى شاهين لاشين ، نفس المرجع[9]