Senin, 01 Desember 2014

Konsep Penciptaan Menurut Ibnu Sina

Latar Belakang
Abad pertengahan merupakan periode bertemunya antara iman dan akal budi. Zaman ini bermula dari jatuhnya kekaisaran Romawi sampai dengan permulaan jaman modern. Sejarawan umumnya menentukan tahun 476,  yakni masa berakhirnya kerajaan Romawi barat yang berpusat di kota Roma dan munculnya kerajaan Romawi timur yang saat ini berpusat di Konstantinopel (sekarang Istambul).[1] Adapun istilah abad pertengahan sendiri (yang baru muncul pada abad ke-17) sesungguhnya hanya berfungsi untuk menjelaskan zaman ini sebagai zaman peralihan atau zaman tengah antara dua zaman, yakni zaman kuno (Yunani dan Romawi). Dan jaman modern, yang diawali dengan masa Rennaissan.[2]
Zaman abad pertengahan ini ditandai dengan bertemunya dua ideologi besar, yakni filsafat[3] dan teologi. Pada mulanya, filsafat dan teologi dianggap sebagai dua pengetahuan yang bertentangan. Namun, akhirnya dengan adanya zaman abad pertengahan, dua ideologi besar tersebut dapat disatukan, di mana filsafat merupakan penghantar menuju teologi. Secara lebih khusus, filsafat memberikan penopang kepada setiap ilmu yang mencoba untuk mensistematisasikan serta membetulkan segala sesuatu. Teologi adalah suatu ilmu yang berdasarkan wahyu dari Allah. Dengan adanya filsafat, teologi dikritisi secara sistematis, maka dengan paham lama, dengan tidak disenangi oleh para filsuf, filsafat disebut sebagai ancila theologie (abdi /pelayan teologi). Dengan paham filsafat, teologi dijelaskan secara sistematis, logis, dan metodis. Selain itu, filsafat berusaha untuk menerangkan paham-paham yang ada pada teologi, agar mampu diangkat, dimengerti dan diterima oleh akal budi.

Dalam paper ini secara lebih khusus penulis mencoba untuk memasuki salah satu bagian dari abad pertengahan yakni Filsafat Islam. Bagi umat islam, filsafat disebut sebagi Al-Falsafah atau Hikmah. Salah satu filsuf islam yang akan penulis pilih adalah Ibnu Sina. Dalam bahasa Arab nama lengkapnya adalah Abu Ali Al Husein Ibnu Abdilah Ibnu Sina. dalam dunia barat lebih dikenal dengan nama Avicena.[4] Dalam paper ini, penulis akan mencoba menggali lebih dalam mengenai bagaimana pemikiran Ibnu Sina dalam filsafatnya menjelaskan penciptaan pada teologi islam? Pertanyaan inilah yang menjadi pokok bahasan dalam paper ini.
Pembahasan
Sebelum beranjak lebih jauh, penulis akan menjelaskan bagaimana Teologi Islam dalam kaitanya dengan terjadinya penciptaan.  Dalam kitab Al-Qur’an, Tuhan telah menciptakan langit dan bumi beserta seluruh isinya. Hal ini tertulis dalam Al Qur’an sebagai berikut:
¨bÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏG÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$yg¨Y9$#ur Å7ù=àÿø9$#ur ÓÉL©9$# ̍øgrB Îû ̍óst7ø9$# $yJÎ/ ßìxÿZtƒ }¨$¨Z9$# !$tBur tAtRr& ª!$# z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB &ä!$¨B $uŠômr'sù ÏmÎ/ uÚöF{$# y÷èt/ $pkÌEöqtB £]t/ur $pkŽÏù `ÏB Èe@à2 7p­/!#yŠ É#ƒÎŽóÇs?ur Ëx»tƒÌh9$# É>$ys¡¡9$#ur ̍¤|¡ßJø9$# tû÷üt/ Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷ètƒ ÇÊÏÍÈ [5]
Artinya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.( Al-Baqoroh :164 )
žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ [6]
Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Al-Imron : 192-192).
Segala yang ada, baik di atas bumi maupun di bawah bumi semuanya adalah karya tangan Tuhan. Sehingga bagi umat islam, segala yang ada merupakan suatu karya Tuhan dan semua berasal dari padanya,baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan.
Menanggapi hal itu, Ibnu sina sebagai seorang Filsuf islam yang berasal dari Persia, berusaha merasionalkan apa yang menjadi kepercayaan bagi umat islam. Sebab baginya banyak dari hasil-hasil filsafat yang sesuai dengan prinsip agama.[7] Karena itu, beliau berusaha mendekatkan filsafat dengan dalil-dalil agama. Meskipun dalam Al Qur’an tidak dijelaskan secara mendetil bagaimana proses dari firman Tuhan (kun fayakun). Bagi beliau hal ini bukanlah suatu larangan bagi kita untuk menyelidiki tanda-tanda kebesaran Tuhan dalam rahasia alam ini.[8]
Definisi tentang tuhan sebagai yang maha tahu diterangkan Ibnu Sina dalam kitabnya Al Isyaat sebagai berikut “maha tahu adalah perwakilan dalam undang alam semesta, dalam pengetahuan abadi, dan dalam suatu waktu tertentu”. Undang pelimpahan tuhan dalam bentuk hirarki dan kekhususan adalah dengan pelimpahan rasional. Tuhan menghendaki baik, oleh karena itu ia menyempurnakan wujudnya. Makhluk adalah baik dan kesmpurnaan makhluk itu adalah terdapat dalam segala makhluk. Semua wujud dan kesempurnaan terdapat dalam segala makhluk. Karena segala kebaikan dan kesempurnaan datang dari Tuhan. Sebab itu Tuhan mempunyai sifat Rahman dan Rahim, Ia akan menjelma dalam setiap yang dikuasainya.
Jika keindahan tidak terdapat dalam suatu makhluk itu bukanlah ia bersifat kurang atau tidak sempurna, akan tetapi karena tidak lengkapnya makhluk itu sendiri. Hal itu juga disebabkan kemungkinan alam dari mana makhluk itu dijelmakan, yang menyebabkan ia tidak sempurna. Benda yang terpisah dari bentuk, bukanlah makhluk benda, maka harus tidak terpisah dari bentuk, yang membawanya kepada kepentingan menjadi wujud hakiki. Bentuk adalah pakaian bagi kesempurnaan dan kebaikan yang terdapat pada benda. Tuhan sebagai puncak makhluk maka Tuhan pula merupakan puncak rupa dengan yang memberi nikmat. Dari keadaan ini kita harus mengenal tuhan sebagai wakil sebab.[9]
Dalam membahas mengenai adanya Tuhan dalam hubungannya dengan alam semesta. Ibnu sina mengatakan dalam bukunya “Al-Isharat”, “Titik dan Pandangan argument orang terhadap wujud yang pertama, keEsaan-Nya ke Maha Agungan-Nya, tidak berkehendak pada sesuatu yang lain selain dari ciptaan dan bentuknya”.[10] Meskipun ciptaannya dipandang sebagai tanda adanya Tuhan. Orang akan lebih mengerti dengan lebih kuat dan baik terhadap Tuhan, karena adanya makhluk berarti adanya Tuhan. Adanya segala makhluk, dapat dibenarkan pendapat tentang : Adanya Tuhan.[11]
Pandangan Tentang Wujud
Dari tuhanlah kemaujudan yang mesti mengalir intelegensi pertama sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak sesuatu dapat terwujud. Tetapi sifat intelegensi pertama tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh tuhan. Intelegensi pertama memunculkan dua wujud:
1.      Intelegensi ke dua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas.
2.      Lingkungan pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya, dan kemungkinan alamiahnya.
Dua proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosof muslim disebut malaikan Jibril, karena ia memberi bentuk atau memberitahukan materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia.
Hanya tuhan yang memiliki wujud tunggal secara mutlak, sedang segala sesuatu yang diluar dirinya memiliki kodrat yang mendua. Oleh karena itu Tuhan adalah identik dengan eksisensinya. Adanya Tuhan adalah suatu keniscayaan, sedang adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya tuhan, dan dugaan bahwa tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lainpun juga tidak ada. Ibnu Sina berpandangan bahwa hanya dari bentuk dan materi saja kita tidak akan pernah mendapatkan eksistensi yang nyata, tetapi hanya kausalitas-kausalitas esensial kebetulan. Bentuk dan materi itu bergantung pada tuhan (atau akal aktif) dan lebih jauh lagi bahwa eksistensi yang tersusun juga tidak bisa hanya disebabkan oleh bentuk dan materi saja, tetapi harus terdapat sesuatu yang lain.
Esensi mewujud dalam pikiran Tuhan dan dalam pikiran-pikiran intelegensi-intelegensi aktif sebelum hal-hal yang ada itu maujud di dalam dunia lahiriah, dan mereka juga ada dalam pikiran kita setelah mereka itu mewujud. Keberadaan adalah sesuatu yang ditambahkan, bukan pada objek-objek yang ada, namun pada esensi. Bila keberadaan dihubungkan dengan esensi, maka keberadaan ini sama dengan “adalah sesuatu”. Prinsip tunggal dari sesuatu yang ada adalah tuhan, penyebab kemaujudan materi adalah penyebab okasional kemaujudan yang mensuplai sifat-sifat lahiriah kemajemukan.

Pemikiran Ibnu Sina dalam Menjelaskan Proses Penciptaan
Alam ini ialah makhluk yang baru dicipta oleh Allah S.W.T setelah sebelumnya ia tiada. Ini berdasarkan dalil al-Qur’an, hadis dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam. Firman Allah S.W.T:
žcÎ) ãNä3­/u ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû Ïp­GÅ 5Q$­ƒr& §NèO 3uqtGó$# n?tã ĸóyêø9$# ÓÅ´øóムŸ@ø©9$# u$pk¨]9$# ¼çmç7è=ôÜtƒ $ZWÏWym }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur tPqàfZ9$#ur ¤Nºt¤|¡ãB ÿ¾Ín͐öDr'Î/ 3 Ÿwr& ã&s! ß,ù=sƒø:$# âöDF{$#ur 3 x8u$t6s? ª!$# >u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÎÍÈ [12] 
Artinya: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi Dalam enam masa lalu ia bersemayam di atas Arasy; ia melindungi malam Dengan siang Yang mengiringinya Dengan deras (silih berganti) dan (ia pula Yang menciptakan) matahari dan bulan serta bintang-bintang, (Semuanya) tunduk kepada perintahNya. ingatlah, kepada Allah jualah tertentu urusan menciptakan (sekalian makhluk) dan urusan pemerintahan. Maha suci Allah Yang mencipta dan mentadbirkan sekalian alam.
Sesungguhnya membahagikan kewujudan kepada “wajib al-wujud” dan “mumkin al-wujud” yang (diciptakan) selepas sebelumnya tidak wujud; pembahagian tersebut adalah dianggap suatu kerosakan yang sudah sedia maklum diketahui oleh semua orang yang berakal. Selain Allah semuanya bersifat baru, ia wujud setelah asalnya ia tiada dan bahawasanya Allah S.W.T adalah Pencipta bagi setiap sesuatu yang pada asalnya tiada. Hanya Allah sahaja yang bersifat kekal dan qidam dan sudah tentulah apa yang selainNya bersifat baru kerana asalnya tiada.
Allah S.W.T hanya mengetahui yang terperinci sahaja. Teori ini di tolak kerana Allah S.W.T dalam asma al-husnaNya, Allah swt. disebut sebagai Al ‘Alim (Yang Maha Mengetahui).
Bahwasanya ilmu Allah tidak terbatas. Dia mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, yang dahulu, sekarang, ataupun besok, baik yang ghaib maupun yang nyata. Firman Allah S.W.T:
óOs9r& öNn=÷ès? žcr& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 3 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ Îû A=»tFÏ. 4 ¨bÎ) y7Ï9ºsŒ n?tã «!$# ׎Å¡o ÇÐÉÈ [13] 
Maksudnya: Bukankah Engkau telah mengetahui bahawasanya Allah mengetahui Segala Yang ada di langit dan di bumi? Sesungguhnya Yang demikian itu ada tertulis di Dalam Kitab (Lauh Mahfuz); Sesungguhnya hal itu amatlah mudah bagi Allah.
Teori Ibnu Sina mengatakan bahawa alam ini terhasil melalui proses emanasi. Dapat dilihat disini ianya bertentangan sekali dengan prinsip dalam al-Quran iaitu dalam Firman Allah Ta’ala:
ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur $yJßguZ÷t/ Îû Ïp­GÅ 5Q$­ƒr& ¢OèO 3uqtGó$# n?tã ĸöyèø9$# ( $tB Nä3s9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB <cÍ<ur Ÿwur ?ìÏÿx© 4 Ÿxsùr& tbr㍩.xtFs? ÇÍÈ   ãÎn/yムtøBF{$# šÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# n<Î) ÇÚöF{$# ¢OèO ßlã÷ètƒ Ïmøs9Î) Îû 5Qöqtƒ tb%x. ÿ¼çnâ#yø)ÏB y#ø9r& 7puZy $£JÏiB tbrãès? ÇÎÈ [14] 
Artinya: Allah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy’. Bagimu tidak ada seorang pun pemolong mahupun pemberi syafaat selain Dia. Maka apakah kamu tidak memerhatikan? Dia mengatur segala urusan dari langit dan bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun tahun menurut perhitunganmu.
Berawal dari teori emanasi dari Neo-Platonisme yang diislamkan oleh Al-kindi, kemudian dikembangkan oleh Al-Farabi, maka dengan teori ini, Ibnu Sina berusaha untuk menjelaskan penciptaan alam, yang juga disebutnya sebagi teori Nadhariatul-faid yang mensintesiskan antara teori filsafat dan teori kalam islam.[15]
            Dalam pemikirannya, Ibnu Sina sangat dipengaruhi oleh gurunya Al-Farabi dan Neo-Platomisme. Sehingga dalam menjelaskan penciptaan Ibnu Sina mengadopsi pemikiran gurunya (Al-farabi) yang mengunakan teori emanasi dari Neo-platonisme yang diislamkan oleh Al-kindi pada zaman sebelumnya.[16] Dengan pemikiran dari gurunya, ia berusaha untuk merasionalkan wahyu yang ada di dalam Al-Qur’an. Sehingga apa yang menjadi kepercayaan bagi umat islam itu dapat dipercaya dan dan diterima oleh akal budi.
            Menurut agama Islam dunia kita ini adalah baharu (ada permulaan), dan fana, akan rusak dan binasa. Al-Quran sendiri dengan tegas mengatakan bahwa asal mula kejadian alam ialah firman Allah. Yakni dengan berkata kun fayakun !.[17] bagaimana proses terjadinya Kun fayakun sendiri tidak dijelaskansecara mendetil. Menanggapi hal ini Ibnu Sina dalam filsafatnya, dengan teori emanasi (Nadhiriatul-faid), terjadinya alam ini adalah dengan cara ”melimpah”. Seperti melimpahnya cahaya matahari atau melimpahnya panas dari api.[18]
Karena pemikiran Ibnu Sina sangat dipengaruhi oleh gurunya Al Farabi, Ibnu Sina menganut paham yang sama dengan gurunya. Ia mengatakan Tuhan ialah Akal Murni, seperti yang disebut Aristoteles sebagai Akal yang berfikir.[19] Akal murni itu esa adanya, artinya bahwa dengan akal itu berisi satu fikiran saja, yakni senantiasa memikirkan dirinya sendiri. Dengan demikian Tuhan itu adalah akal yang aqil (berfikir) dan ma-qul(di fikirkan). Dengan ta’aqqul ini mulailah ciptaan Tuhan.
          “Takkala Tuhan memfikirkan itu, timbulah suatu wujud baru atau terciptalah suatu akal baru yang dinamakan oleh Al-Ffarabi sebagai Al aqlul-awwal (akal pertama). Akal pertama ini lalu berta’aqul pula, memikirkan akal Tuhan, dan memikirkan dirinya sendiri. Dengan ta’aqqul Tuhan melimpahkan Al’kluts-tsani (akal kedua) dan ta’aqqul sendiri menimbulkan al-falakai aqsha (langit yang paling luar).
          Dengan demikian, mulailah sifat kejamakan (pluralitas) dari alam mahluk. Seterusnya akal kedua menimbulkan pula al-aqluts tsalis (akal ketiga) bersama dengan timbulnya kuratul-kawakibits tsbitah (langit bintang bintang). Dari akal ketiga melimpah pula al-aqlur-rabi (akal keempat). Kemudian melimpah al-aqlul-khamis (akal kelima) bersama dengan timbulnya langit bintang Musytari (Yupiter).
Setelah itu, lalu melimpah al aqlus-sadis (akal keenam) bersama dengan langit mirrikh (Marsk). Selanjutnya al aqlus-sabi (akal ketujuh) bersama-sama langit matahari, lalu aluqluts-tsmin (akal kedelapan) bersama-sama langit bintang Zuhrah (Venus), al aqlul-tasi (akal kesembilan) bersama-sama langit bintang Putharid (Merkurius), akhirnya aqlul’asyir bersama-sama dengan langit bulan. Adapun al-aqlul asyir (akal kesepuluh) ini disebut juga al-aqlul-ta al (yang aktif bekerja) yang disebut orang barat active  intelect. Sampai di sini, berhentilah pelimpahan barang-barang yang halus dan tinggi, dan semua pokok-pokok tadi sudah meliputi bumi. Bumi berada di tangah-tengah dan tidak berubah.”[20]
Dalam pemikiran Ibnu Sina (nadhariatul-faid), ia hanya menambahkan sedikit mengenai teori gurunya. Takala akal pertama berta’aqqul mengeluarkan akal kedua, di sampingnya juga mengeluarkan dua wujud lain (bukan sesuatu seperti Al-Farabi) yaitu apa yang disebut jirmul-falakil-aqsha dan nafsul-falakil-aqsha[21]. Jirmul-falakil-aqsha  bagi Ibnu Sina ialah langit dengan semua planet-planetnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nafsul-falakil–aqsha itu ialah jiwa dari langit dengan semua planet-planetnya itu.[22] Menurut Ibnu Sina tiap-tiap al-aqal itu menyebabkan timbulnya tiga macam keadaan yaitu akal yang berikutnya juga mengeluarkan jirim langit dan plenetnya serta jiwa langit.[23]
Selain itu bagi Ibnu Sina akal pertama merupakan limpahan langsung dari Tuhan, maka akal inilah yang paling sempurna dari akal-akal lainnya. Akal pertama ini penuh dengan rasa cinta. Selanjutnya akal kedua lebih rendah dari akal pertama dan akal ketiga lebih rendah lagi kesempurnaannya dari akal kedua. Hal ini terus berlanjut, akal ke empat lebih rendah lagi dari akal kelima, akal keenam lebih rendah lagi kesempurnaannya dibandingkan akal kelima, hingga akal yang ke sepuluhyang jauh lebih rendah dari akal-akal lainnya.
Berlimpahnya akal pertama dari Tuhan dan seterusnya hingga sampai kepada  akal kesepuluh adalah tidak dimaksud oleh Tuhan dan tidak pula diatas tabiatnya.[24]  Hal ini diungkapkan oleh Ibnu Sina demikian:
“Kalau Tuhan mengingini melimpahnya akal pertama dari dirinya maka ini berarti bahwa barang yang diingini itu adalah lebih tinggi tingkatnya dari yang mengingini, yaitu Tuhan sendiri. Ini berarti bahwa Tuhan yang mengingini itu lebih rendah dari pada yang diingini”.[25]
Dengan demikian bagi Ibnu Sina pelimpahan itu terjadi berjalan atas kerelaan yang difikirkan (faidlu ridlal ma’qul).
            Dengan adanya proses pelimpahan dari akal (aqil), yang disebut oleh orang barat sebagai active intelek, atau pengerak dari segala sesuatu. Maka, terjadilah penciptaan bumi dan seluruh isinya. Mulai dari tumbuhan, hewan,  manusia, tanah, air, udara, batu-batuan, dan lain-lain, yang saat ini dapat kita temukan dikehidupan sehari-hari. Mulai dari hal yang kelihatan sampai dengan hal yang tak kelihatan. Baik yang berupa materi maupun tidak berbentuk materi.
Setelah membuktikan bahwa alam semesta ini diciptakan pada suatu masa (muhdats), kemudian Al-Kindi hendak mendemonstrasikan bahwa alam ini mempunyai Dzat yang menciptakan (muhdits). Untuk membuktikan adanya Allah Sang Pencipta, Al-Kindi mengajukan beberapa argument.[26] Pertama, bukti adanya Allah adalah diciptakannya alam semesta pada suatu masa. Apapun yang diciptakan pada suatu masa, maka ia mempunyai pencipta. Setiap yang memiliki permulaan waktu maka ia akan berkesudahan. Argumen kedua adalah keaneragaman alam. Sebelum berargumen, al-Kindi menjelaskan makna dari istilah ‘satu’ (one/wahid). Kata ‘satu’ adalah istilah yang merujuk pada ‘satu’ (single) dari kumpulan beberapa objek dan merujuk pada ‘Esa’ (One), Sang Pencipta. Untuk makna pertama, ia tersusun. dari beberapa objek, dan dapat dibagi (divisible) kedalam beberapa bagian. Sedangkan untuk makna kedua (One-ness, the Creator), Ia adalah satu yang tidak dapat dibagi-bagi (indivisible). Selain ‘Yang Esa’ (One-ness) berarti berragam (multiple). Ketiadaan Yang Esa juga berdampak pada ketiadaan yang berragam. Yang Esa (One-ness) adalah penyebab adanya yang lain. Dialah Allah Sang Pencipta.
Argument ketiga adalah bahwa segala sesuatu mustahil dapat menjadi penyebab atas dirinya sendiri. Karena jika ia sendiri yang menyebabkan atas dirinya maka akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Karena itulah, penyebabnya harus dari luar sesuatu itu, yakni Dzat Yang Maha Baik dan Maha Mulia dan lebih dahulu adanya dari pada sesuatu itu. Ia adalah Allah swt, Dzat yang Maha Pencipta. Allah dalm filsafat Al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah dan mahiah. Bagi Al-Kindi Allah adalah unik. Ia hanya satu dan tidak ada yang setara dengannya.[27] Bukan ‘aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi (al-hayula) dan bentuk (al-shurat). Tuhan juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak termasuk genus atau species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik. Ia adalah Yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wahid). Ia semata-mata satu. Selain dari-Nya mengandung arti banyak.[28]
Sebagaimana kebanyakan umat Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah pencipta (mubdi’). Tuhanlah yang menciptakan alam beserta isinya. Berbeda dengan Aristoteles, menurutnya Tuhan tak memiliki ciri-ciri seperi Tuhan Penyelenggara atau Pencipta, sebab akan turunlah derajat kesempurnaan-Nya jika Ia memikirkan segala sesuatu selain yang sempurna. Tuhan, menurutnya adalah penyebab gerak, akan tetapi dirinya sendiri tidak harus bergerak. Tuhan melahirkan sesuatu yang bergerak (alam semesta) dengan jalan dicintai.[29] Jadi bagi Al-Kindi, Tuhan bukanlah Pencipta alam semesta ini dalam pengertian dari tiada menjadi ada. Tuhan dalam istilah Aristoteles adalah The Prime Mover bukan The Creator.
Kesimpulan
            Dari pemikiran yang ada, dapatlah penulis simpulkan bahwa Tuhanlah yang menciptakan bumi berserta seluruh isinya. Semua yang ada didalam Al-Qur’an, dapat kita pahami dengan akal budi. Sebab hal ini dapat dibuktikan oleh Ibnu Sina dengan mengunakan teori emanasi dari Plotinus yang disebutnya juga sebagai teorinya nadhariatul–faid. Dengan demikian dapatlah kita pahami apa yang ada dalam Al-Qur’an sangatlah rasional dan logis,  tidak dapat diragukan lagi kebenaranya sebagai sesuatu yang menjadi kepecayaan bagi umat Islam. Sebab melalui pembuktian Ibnu Sina dalam filsafat nadhariatul–faidnya itu sangatlah logis, dan dapat dipahami secara dengan akal budi.
            Dalam pemikiran Ibnu Sina apabila kita pahami sangat masuk akal dan logis. Namun hal yang juga perlu kita ketahui apabila Ibnu Sina mengatakan bahwa tiap-tiap akal mempunyai pendiriannya sendiri, maka semua hal ini tidak secara langsung diciptakan oleh Tuhan melainkan biasan dari akal yang sebelumnya yang berupa efek dari akal dan bukan suatu kreasi langsung dari Tuhan. Tuhan hanya sebatas mengetahui dari apa yang ada saja. Setiap akal hidup sendiri tanpa campur tangan Tuhan.
Selain itu, apabila semua yang tercipta di dunia ini merupakan suatu biasan dari setiap akal dan bukan dari Tuhan sendiri, maka dunia kita ini hanya suatu hal yang sistematispergerakannya tanpa adanya campur tangan Tuhan. Lalu bila demikian, bagaimana dengan keajaiban pergerakan terjadinya gerak planet-plenet, dan seluruh benda yang berada di luar angkasa, berterbagan secara bebas beratus-ratus tahun lamanya hingga saat ini? tidakkah semuanya akan bertabrakan bila dibiarkan begitu saja? Apakah hal ini suatu hal yang mustahil bila semua itu tidak ada yang mengawasi dan mengaturya?.
Hal ini sama halnya dengan menyangkal adanya kreasi Tuhan yang secara langsung menciptakan langit dan bumi sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an yang menegaskan bahwa bumi dan segala isinya adalah suatu karya dan ciptaan Tuhan sendiri,baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan.Oleh sebab itu, apa yang dikatakan oleh Ibnu Sina dapat mengarah pada suatu ke-musyrik-kan bagi umat Islam dan menyangkal adanya kekuasaan Tuhan sebagai pencipta.
Hal ini dapat merujuk juga pada paham agnostisisme jam “dinding”, yang berarti Tuhan mencipta, setelah itu Ia meningalkan ciptaannya.











Daftar Pustaka

Dunya, Sulaiman. 1960.  Al-Isharat wa al-Tanbihat (Remarks and Admonitions), Cairo.
Hasbulah, Bakry. 1961. Di Sekitar Skolastik Islam, Yogyakarta: Tinta Mas.
Ilyas, Supena. 2010. Pengantar filsafat Islam, Semarang: Walisongo Press.
Isdaryanto, Jahanes Bosco. 2006. Sejarah Filsafat Abad Pertengahan, Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana.
Laba Laurensius. 2006. Sejarah Filsafat Islam, Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sudarsono, 2010. Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta. Cet 3.
Tjahjadi, Simon Petrus L. 2004. Pertualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern,Yokyakarta: kanisius.
Zar, Sirajuddin. 2012. Filsafat islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.




[1]Tjahjadi, Simon Petrus L, Pertualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Yokyakarta, kanisius, 2004 hal 102.
[2]Ibid.,hal 102
[3]Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, dalam bahasa Yunani  adalah Philosophia, Philo : Cinta / ingin, Sophia : kebijaksanaan atau pengertian mendalam. Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Pada dasarnya adalah sebuah studi tentang aktivitas piker manusia, bahkan filsafat adalah aktivitas piker itu sendiri. Pada kenyataannya, aktivitas piker manusia itu tercermin dalam sikap dan perilakunya, termasuk prilaku yang cenderung pragmatis sekalipun. Sehingga bisa dikatakan bahwa setiap prilaku manusia adalah cerminan atau symbol dari aktivitas pikirnya. Filsafat sebenarnya sudah sangat dekat dengan kita, bahkan setiap saat kita terlibat dalam tindakan berfilsafat itu sendiri, hanya saja selama ini keberadaannya belum kita sadari. Maka filsafat adalah ilmu yang membicarakan tentang suatu objek yang tidak jauh dari kita, bahkan kita sendiri. Cara berfikir filsafat adalah dengan spekulatif.

[4]Bakry Hasbulah SH. Di Sekitar Skolastik Islam, Tinta Mas, Yogyakarta, 1961. Hal 41
[5] Surat Al-Baqoroh ayat 164
[6] Surat AL-Imron ayat 191-192.
[7]Bakry Hasbulah SH. Di Sekitar Skolastik Islam, ...Hal 42.
[8] Ibid.,hal 43.
[9] Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam Hukum. Hal: 166
 [10] S. Dunya,  al-Isharat wa-‘l-tanbihat (Remarks and Admonitions), ed, Cairo, 1960;
[11] Drs.Sudarsono, SH,M.Si, Filsafat Islam, ( Jakarta: Rineka Cipta, Desember 2010 ), 45.
[12] Surat Al-A’araf ayat 54
[13] Surat Al-Hajj ayat 70
[14] Surat Al-Sajadah ayat 4-5.
[15] Bakry Hasbullah SH.Di Sekitar Skolastik Islam,.hal 42.
[16] Ibid.,hal 42.
[17]Ibid.,hal 41.
[18]Ibid.,hal 43
[19] Drs.Sudarsono, SH,M.Si, Filsafat Islam, h :51.
[20]Filsafat Alfarabi dalam menjelaskan poroses penciptaan.
[21]Bakry Hasbulah SH. Di Sekitar Skolastik Islam...Hal 45.
[22]Ibid.,hal 45.
[23]Ibid.,hal 45.
[24]Ibid.,hal 45.
[25]Ibid.,hal 45
[26] Hasyimsyah  Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999) ,45-46.
[27] Sirajuddin Zar, filsafat islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012).86.
[28] Hasyimsyah  Nasution, Filsafat Islam., 47.
[29] Ibid.,48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar