Diskursus Pluralisme hingga detik ini masih
menjadi arena pergulatan pemikiran yang tetap memancing pro-kontra. Di tahun
2009 ini, perdebatan tentang titik temu agama (transendent unity of religion)
kembali marak menyusul diterbitkannya buku "Argumen Pluralisme Agama"
hasil disertasi di UIN Jakarta oleh Moqsith Ghazali. Walaupun menggunakan argumen-argumen yang kontrofersial,
buku tersebut menuai pujian dari beberapa tokoh. Syafi'i Ma'arif pada 17 Maret
2009 di Harian Republika memuji habis-habisan buku tersebut. Padahal, menurut
salah satu penguji disertasinya, Prof. Salman Harun, Moqsith tidak jujur
mengutip pendapat Syeikh Nawawi al-Jawi dan Ibnu Kastir. Moqsith salah memahami
penggalan tafsir Maroh Labid karya Syeikh Nawawi Al-Jawi tentang bisa-tidaknya
non-muslim masuk surga. Moqsith dinilai tak utuh mengutip Ibnu Katsir. Menurut Prof.
Salman, dua ulama itu berkesimpulan hanya Muslim yang masuk surga. Tapi Moqsith
menyimpulkan, non muslim juga bisa.
Buku itu
mengurai jawaban-jawaban Islam Liberal terhadap paham Pluralisme. Arah
argumentasi Moqsith tampak jelas untuk menjustifikasi titik temu agama-agama
dari perspektif Islam. Pertanyaannya, mungkinkah agama-agama itu bisa dipertemukan
dalam satu titik persamaan? Ketidak jujuran Moqsith mengutip pendapat Syeikh
Nawawi al-Jawi dalam tafsirnya merupakan bukti bahwa ia memaksakan pertemuan teologi
agama-agama. Jika ditelaah, gagasan mempertemukan teologi agama-agama adalah
rancu.
Dalam
wacana mencari titik temu agama-agama, ada dua istilah yang sering dikaburkan dan
disalah artikan. Kedua
istilah itu – pluralitas dan pluralisme agama – kadang kala dilebur maknanya
atau dikaburkan sehingga kemudian berubah menjadi satu bangunan makna. Perdebatan
lain adalah belum adanya penjelasan yang memuaskan bagaimana konsep mengakumulasikan
beraneka ragam titik agama itu menjadi satu titik yang menurut Frithjon Schuon
adalah titik "Yang Mutlak".
Pertama-tama, yang perlu dipahamkan adalah makna
pluralitas dan pluralisme agama. Pluralitas adalah suatu kondisi kehidupan
sosial dengan aneka ragam wujud agama dalam masyarakat atau negara. Kondisi ini
adalah alami atau sunnatullah. Sepanjang sejarah manusia pasti ditemukan
beberapa agama, aliran atau isme.
Sedangkan pluralisme sebagaimana didefinisikan
oleh MUI adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan
karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu setiap pemeluk
agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan
agama yang lain salah.
Dari penjelasan singkat tersebut, tampak jelas
perbedaan antara pluralitas dan pluralisme agama. Pluralitas agama adalah
bagian dari fenomena sosial yang tidak dapat ditolak, sedangkan pluralisme agama
adalah aliran teologi yang akarnya dari Barat pada abad ke-15 – yaitu gerakan
kaum Liberal Protestan dengan misi mereformasi pemikiran agama.
Yang disalah pahami oleh Islam Liberal, pluralisme
adalah realita sunatullah. Ahmad Sofyan dalam buku Gagasan Cak Nur
Tentang Negara dan Islam menukil pendapat Cak Nur ”Pluralisme, dengan
demikian, merupakan sunatullah yang tidak akan berubah, sehingga tidak mungkin
dilawan atau diingkari". Kesalahan Cak Nur ialah menyamakan definisi pluralitas
dengan pluralisme agama. Sehingga ia berpendapat, pluralisme tidak dapat
dilawan dan diingkari. Pendapat yang sama dilontarkan Sukidi di Koran Jawa Pos
tanggal 11 Januari 2006 "Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan
(sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita
melawan dan menghindari".
Dalam konsep Islam, pluralitas diakui. Islam
mengakui perbedaan dan identitas agama-agama, namun tidak berarti membenarkan
semuanya. Surat Al-Kafirun memberi pemahaman bahwa bermacam agama itu tidak bisa
disatukan. Dari sinilah konsep toleransi lahir. Islam membiarkan agama lain
menjalankan ritual agama – selama tidak mengganggu agama Islam – namun tidak
mentolelir persamaan agama (lakum dinukum wa liyadin).
Toleransi dalam konsepsi Islam tidak sampai
mengorbankan aspek teologi. Kekeliruan Islam Liberal adalah bahwa kerukunan
dapat berkembang jika umat berteologi pluralis. Budhy Munawar Rahman, tokoh
Liberal, dalam situs www.Islib.com tahun 2000 menulis ”bahwa kerukunan umat
beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama menganut -- dan mengembangkan --
teologi pluralis atau teologi inklusif.
Eksklusifitas Islam – sebagaimana dijabarkan dalam
ayat-ayat al-Qur'an – adalah dalam
rangka mengoreksi dan mengkritik agama-agama terdahulu yang telah menyimpang
dari al-din al-fitrah/al-din al-hafnif (ajaran Tauhid). Hal itu
dapat dilihat dalam QS. Al-Ma'idah ayat 17, 72 dan 73. Secara teologis Islam
bersifat eksklusif dalam arti tidak membenarkan agama-agama lain selain Islam
seperti dalam QS Ali Imran ayat 19 dan 85.
Tapi, eksklusifitas Islam tidak serta merta
menghalangi berinteraksi dengan penganut agama lain (anti inklusifitas). Dalam
tataran sosial kemasyarakatan Islam terbuka (inklusif) berkehidupan dengan
penganut agama lain. Surat al-Mumtahanah menjelaskan "Tidaklah
Allah melarang kamu untuk berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak
memberangi kamu pada agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halaman kamu,
sebab Allah suka kepada orang-orang yang berbuat adil. Hak-hak kafir dzimmi
dijamin oleh Islam. Rasulullah SAW bersabda:"Barangsiapa yang menyakiti
seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku,
berarti ia menyakiti Allah (HR. Thabrani). Dalam beberapa riwayat,
disebutkan Rasulullah SAW berdagang dengan orang kafir. Sebagaimana tercantum
dalam surat
Al-Kafirun dalam tataran teologi, Islam bersifat eksklusif. Tapi sangat membuka
pintu toleransi beragama, berinteraksi dan bermuamalah (inklusif). Artinya, Islam
adalah eksklusif sekaligus inklusif.
Kesimpulannya, ranah teologi Islam tidak mungkin
dipaksakan menjadi inklusif. Teologi Inklusif - yang pernah diwacanakan oleh Nurcholis
Madjid – tidak pernah dikenal dalam tradisi Islam. Hampir mirip dengan teologi
inklusifnya Cak Nur, terdapat teori Transendent Unity of Religion –
yaitu aliran pluralisme dengan cita-cita mempertemukan agama-agama pada titik
esoterik. Penggagasnya adalah Rene Guenon, Fritjhof Schuon dan Syed
Hussein Nasr. Wacana
ini juga menyemarakkan kajian penganut pluralisme.
Menurut Frithjof Schuon – penggagas teori Transendent
Unity of Religion – tiap agama-agama di dunia memiliki unsur eksoterik dan esoterik.
Eksoterik adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika dan
moral. Level ini melingkupi aspek peribadatan dan tata cara menyembah Tuhan.
Unsur kedua, esoterik, adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Pada
level inilah kata Shuon dan Rene Guenon agama-agama bisa bertemu menuju satu
titik Tuhan.
Satu Tuhan banyak nama. Demikianlah kira-kira
konsep Schuon. Tuhan agama-agama di
dunia hakikatnya sama, yang berbeda adalah pemberian nama tiap agama. Tuhan
Islam bernama Allah, Yahudi menyebut Yahweh, meski berbeda, Dzat Mutlak itu
satu.
Secara
konseptual, gagasan Frithjof Schuon bermasalah. Kenyataannya perbedaan itu tidak hanya pada level
eksoterik, pada tingkat esoterik pun terdapat perbedaan di antara masing-masing
agama. Konsep ke-Tuhan-an umat Islam (Allah) tentu amat jauh berbeda dengan
Tuhan Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu atau agama-agama lainnya. Kritik
Al-Qur'an terhadap agama Yahudi dan Nasrani bahkan tidak hanya pada ranah
eksoterik, malah, Al-Qur'an banyak mengkritik agama tersebut pada level
esoteriknya. Andaikan sama, Islam tentu tidak akan menggugat ketuhanan
agama-agama syirik tersebut. Dan Rasulullah SAW tidak perlu mengirim surat mengajak Islam
kepada Raja Heraklius.
Masing-masing agama memiliki kosepsi Ketuhanan
yang bersifat eksklusif, yang mustahil dicarikan kesamaan atau dipertemukan.
Karena berbeda itulah, maka Islam kemudian mengajak kepada para pemeluk agama
lain agar bersama-sama berdiri dalam kalimat al-sawa' – yaitu dengan melepas
baju-baju syirik untuk kembali kepada agama Tauhid, menyembah Allah sebagai
satu-satunya Tuhan. Wallahu a'lam bissowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar