A. Latar Belakang
Sejarah Ahlussunah
Kemunculan
I’tiqad Ahlussunah merupakan jawaban terhadap gejolak yang tumbuh dari berbagai
paham keagamaan, antara lain paham Mu’tazilah yang mendapat dukungan dari tiga
khalifah Abbasiyah pada abad ke-3 H. yaitu al-Makmun bin Harun al-Rasyid
(198-218 H/813-833 M). Al-Muktashim (218-227 H/833-842 M). dan Al-Watsiq
(227-232 H/842-847 M). Pada pemerintahan al-Makmun paham ini dijadikan paham
resmi negara. Karena paham Mu’tazilah telah menjadi paham resmi negara, maka
kaum Mu’tazilah mulai menyebarkan ajarannya dengan cara paksa, hal ini sampai
berlanjut pada pemaksaan paham aliran melalui jalur kekuasaan.
Setelah
Al-Makmun meninggal dunia pada tahun 833 M. Paham aliran Mu’tazilah ini menjadi
surut, kemudian pemerintahan Abasyiah dipimpin oleh al-Mutawakil. Pada
pemerintahan al-Mutawakil paham Mu’tazilah mulai tidak berlaku.
Orang-orang
Mu’tazilah ini pada mulanya adalah kaum Syiah yang patah semangat, karena
menyerahnya khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada khalifah Muawiyah dari
Bani Umayah pada tahun 40 H.
Paham
Mu’tazilah yang biasa dikenal sebagai paham rasional dan liberal ini (lebih
mengedepankan akal dan kebebasan) biasanya dalam melahirkan fatwa, lebih
memilih jalur mendahulukan akal dari pada al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam arti
lain, paham ini tidak menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama
secara mutlak.
Sebagian
orang Mu’tazilah menolak kebenaran al-Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak dapat
diterima oleh akal sehat. Misalnya, mereka tidak menerima bahwa Rasulullah SAW.
Melakukan Isra’ Mi’raj dengan jasadnya. Paham ini juga dikenal sebagai penganut
paham Qodariyah atau paham yang mengajarkan ajaran free will, free act (bebas
berkehendak dan berbuat).
Gerakan
Mu’tazilah muncul di Basyrah (Irak) yang dipimpin oleh Wasil bin Atho’ (80-131
H) dan Umar bin Ubaid (w. 144 H). Pada permulaan abad ke-3 Mu’tazilah muncul di
Baghdad (Irak) yang dipelopori oleh Basyar bin Muktamar. Basyar merupakan salah
satu pimpinan Mu’tazilah di Basyrah yang pindah ke Baghdad.
Seperti
disebutkan di atas Mu’tazilah pernah memaksakan paham alirannya. Kasus ini
terjadi pada penyiksaan ulama penganut Madzab Syafi’i diantarnya, penyiksaan
Syaikh Buathi, Pemenggalan leher Imam Ahmad bin Nashir al-Khuza’I; penyiksaan
Imam Ahmad bin Hanbal (Pendiri Mazhab Hanbali) dipenjarakan dan dicambuk, Isa
bin Dinar dipenjarakan selama 20 tahun; Imam Bukhari lari karena menghindari
fitnah dan kejaran penguasa Mu’tazilah. Peristiwa tersebut tercatat dalam sejarah
sebagai “Tragedi Qur’an Mahluk”.
Menghadapi
tantangan yang sangat menggoncangkan sendi-sendi I’tiqad Islam, maka lahirlah
dua ulama dalam bidang Ushuluddin bernama Syaih Abu Hasan Al Asy-ari (260 H/935
M) di Basyrah (Irak) dan Syaih Abu Mansur al-Maturidi (238 H/852 M.) lahir di
Maturid, dekat Samarkand (Asia Tengah).
Kemudian
dua tokoh inilah yang dikenal sebagai pembangun Paham Ahlussunah. Dengan
ajarannya yang lebih mengedepankan dalil naqli daripada dalil aqli. Paham
inilah yang kemudian merespon (mencoba meluruskan) bentuk pemahaman
aliran-aliran pada waktu itu.
DASAR-DASAR AKIDAH
AHLUSSUNAH
1.
Ilmu
Ushuluddin
a.
Pengertian
Ilmu Ushuluddin
Ilmu
Ushuluddin atau biasa disebut sebagai Ilmu Kalam, Ilmu Tauhid, Ilmu ‘Aqaid,
Ilmu Sifat Dua Puluh, Theologi. Apapun istilah yang dipakai untuk ilmu ini,
maksud dan tujuannya tetap sama yaitu, ilmu yang mempelajari tentang
dasar-dasar keyakinan agama Islam (iman), dan segala hal yang berhubungan
dengan iman, diantaranya sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah, dan sifat
wajib jaiz, mustahil bagi para Rasul dan lain-lain.
b.
Menfaat
Mempelajari Ilmu Ushuluddin
Sesuai
hukum akal sehat, mendalami segala sesuatu yang berupa ilmu, pasti akan
menimbulkan hukum manfaat. Demikian juga dengan ilmu Ushuluddin, mempelajari
ilmu ini, akan memberi manfaat kepada kita berupa:
Pertama,
akan membuahkan keyakinan yang mendalam terhadap Allah SWT, sehingga dapat
membebaskan manusia dari belenggu materi yang melalaikan, misalnya penyembahan
terhadap kekuasaan, uang dan lain-lain. Membebaskan belenggu praktek
kepercayaan yang menyesatkan. Seperti praktek sesajen yang diperuntukkan kepada
ruh-ruh yang diyakininya.
Kedua,
dengan keyakinan yang mendalam, akan mendorong kita melakukan kebaikan dan
menjauhi larangan. Misalnya, mengerjakan amal ibadah, karena kita yakin akan
adanya hari pembalasan.
2.
Iman
a.
Pengertian
Iman
Iman
secara bahasa (lughat) berasal dari bahasa Arab dari kata dasar (Madly) aamana,
yang mengambil bentuk masdar iimaanan yang berarti, membenarkan dan
mempercayakan. Iman secara Istilah berarti, percaya sepenuh hati kepada semua
yang telah disampaikan oleh para Rasulullah, yang berupa hukum, perintah,
larangan, khabar dan janji.
b.
Kategori
Iman
Iman
sebagai bentuk keyakinan yang tulus tidak hanya terbatas kepada keyakinan
kepada Tuhan semata, tetapi iman merupakan bentuk keyakinan yang meliputi
sebagai berikut:
1. Keyakinan terhadap
Tuhan yang Esa dengan beberapa kesempurnaan sifat-Nya, keyakinan ini biasa
disebut sebagai I’tiqad Ilahiyyat (I’tiqad Uluhiyyat).
2. Keyakinan yang
berhubungan dengan kenabian biasanya disebut sebagai I’tiqad Nubuwwiyat
(I’tiqad Nubuwwat).
3. Keyakinan yang
berhubungan dengan Alam Ghaib (metaphysic) disebut sebagai I’tiqad Ghaibaat.
c.
Syarat
Sahnya Iman
Adapun
syarat sahnya iman dalam ajaran Ahlussunah, dikenal sebagai penyerahan dengan
ketulusan hati terhadap segala ketentuan hukum Allah SWT.
d.
Batalnya Iman
Pertama,
akan membebaskan manusia dari belenggu materi yang melalaikan dan Membebaskan
belenggu praktek kepercayaan yang menyesatkan. Seperti kepercayaan animisme,
dinamisme, totemisme dan lain-lain.
Kedua,
dengan keyakinan yang mendalam, akan mendorong kita melakukan kebaikan dan
menjauhi larangan, Misalnya, mengerjakan amal ibadah, karena keyakinan akan
adanya hari pembalasan.
e.
Rukun
Iman
Di
antara ajaran akidah Ahlussunah yang berhubungan dengan keyakinan (iman)
digariskan dalam 6 rukun diantaranya:
1. Iman kepada Allah
2. Iman kepada Malaikat-malaikat Allah
3. Iman kepada Kitab-kitab Allah
4. Iman kepada Utusan-utusan Allah
5. Iman kepada Hari Kiamat
6. Iman Kepada Qadla dan Qadar Allah.
Beberapa
Rukun Iman di atas didasarkan kepada Hadis Nabi Muhammad SAW:
“Maka
beritahulah kami (ya Rasulullah) mengenai iman. Nabi menjawab: engkau mesti
percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya,
Hari Akhir (Qiamat) dan Qadar (nasib baik dan buruk dari Allah)”. (HR. Imam
Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar