SUMBER
DAN CORAK ALIRAN KEPERCAYAAN DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Pada mulanya, aliran kebatinan dan
kepercayaan memiliki akar sejarah pertumbuhan yang cukup panjang dan lama sejak
ratusan tahun yang lampau. Aliran ini lahir dari hasil proses perkembangan budaya,
buah renungan dan filsafat nenek moyang, yang kemudian terpaku menjadi adat
istiadat masyarakat turun temurun hingga sekarang. Mayoritas aliran kepercayaan
menjadikan adat istiadat ini sebagai pedoman ajaran yang sangat dipegang teguh
yang dihayati dan diamalkan[1].
Kebatinan
Jawa sebenarnya adalah peninggalan tradisi agama Jawa asli sebelum adanya
pengaruh agama-agama besar (Hindu, Buddha, Islam dan Kristen). Setelah masuknya Hindu, Buddha,
Islam dan Kristen, maka terjadilah akulturasi budaya dimana agama asli penduduk
bercampur dengan agama baru.
Dalam proses akulturasi itu, terjadi
beberapa kemungkinan. Pertama, unsur-unsur agama baru diterima akan
tetapi unsur agama lama tidak hilang dan bercampur dengan unsur agama baru
(contoh: Islam abangan dimana ia menyebut dirinya Islam, tetapi melaksanakan
upacara-upacara selamatan dan tidak berdoa sebagaimana mestinya orang Islam). Kedua,
unsur-unsur agama baru makin menguat dan mendominasi unsur agama lama makin
menghilang (contoh: agama Kristen dalam budaya Batak). Ketiga, unsur
agama baru bercampur dengan unsur agama lama dan menghasilkan agama baru yang
memiliki ciri tersendiri (contoh: agama Hindu Bali berbeda dengan ajaran Hindu
di Hindustan). Keempat, unsur agama lama mengalami revival dan menjadi
menonjol meskipun menggunakan juga unsur-unsur agama baru (contoh: agama Wudu
di Brasilia). Di sini kita akan mempelajari berbagai aliran kebatinan atau
kepercayaan yang berkembang di Jawa.
Menurut para peneliti, kepercayaan
Nenek Moyang bangsa Indonesia adalah animisme[2],
dinamisme[3],
dan demonologisme[4].
Akan tetapi faktanya bahwa bangsa Indonesia berevolusi seiring perjalanan
waktu, kepercayaan bangsa Indonesia berakar dari animatheisme[5],
politheisme[6],
henoteisme[7],
monotheisme[8]
animisme, dinamisme, dan demologisme. Dari ajaran-ajaran yang dipeluk oleh
nenek moyang dan yang terbentuk oleh pengalaman kehidupan yang bermacam ragam
yang dialami mereka melewati kurun waktu yang cukup panjang. Dan semua berawal
dari rentetan sejarah kehidupan suatu bangsa dan juga akan berakhir dengan
kikisan sejarah yang menerpa adat tersebut.
Jawa merupakan salah satu pulau
diantara lima pulau terbesar di Indonesia. Jawa adalah pulau terpadat dan
merupakan pusat dari pemerintahan Indonesia. Namu jika ditinjau dari dimensi
kultural; jawa merupakan sebuah suku yang penuh dengan tradisi-tradisi berbau
mistik[9].
Istilah kepercayaan dan kebatinan,
sebenarnya masih ada istilah-istilah lain. Rahmat Subagyo menyebutkan nama
kejiwaan dan kerohanian. Kejiwaan adalah ajaran yang menunjukan ilmu hidup
benar, budi pekerti baik, atau pemeliharaan jiwa yang dicari secara ilmiah dan
metodis. Adapun kerohanian ialah ajaran yang lebih menekankan aspek mistisisme,
yakni bagaimana manusia mencapai kontak langsung dengan yang mutlak[10].
Kamil Kartapraja memberikan istilah
Kejawen, yakni ajaran yang berupa pengetahuan dan praktik-praktik ritual Jawa
Asli (animisme) ; dan klenik, yakni ilmu yang bersifat rahasia dan merupakan
praktik-praktik mistik yang menyeleweng dari agama yang dianut[11]
B.
Definisi dan Pengertian Aliran
Kepercayaan Dan Kebatinan
Menurut
sejarah perkembangan dan kehidupan Aliran Kepercayaan dan Kebatinan, jumlah dan
macamnya selalu bertambah dan berkurang. Masing-masing aliran mempunyai ciri
khusus yang berbeda dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, nampaknya sulit untuk
memberikan suatu definisi atau batasan yang dapat mencangkup semua aliran
dengan sempurna. Pengertian harfiah memberikan, namun belum menggambarkan
pengertian terminologi yang total. Aliran kepercayaan dapat disebut aliran
kebatinan, kerohaniaan, kejiwaan, kejawen, dan lain sebagainya.
“ Aliran “
berarti haluan pendapat ( pandangan hidup, politik, dsb ) yang timbul dari
suatu paham[12].
“
Kepercayaan” dari asal kata “percaya” mendapat awalan ke dan akhiran an’
artinya iman, keyakinan, hal menganggap bahwa sesuatu itu benar[13]. Percaya berarti membenarkan suatu keterangan
dari keterangan yang bermacam-macam yaitu : keterangan umum, keterangan ilmiah,
keterangan falsafi, dan keterangan agama. Jadi, Aliran
Kepercayaan adalah suatu aliran yang berkaitan dengan alam ghoib yang tidak
bisa di akali oleh manusia. Dan Aliran Kebatinan adalah aliran yang
mengeluarkan kekuatan kebatinan dalam diri manusia.
Batin
artinya dalam hati ; mendapat awalan ‘ke’ dan akhiran ‘an’ berarti keadaan
batin; segala sesuatu yang tercantum dalam hati orang. Ilmu bathin artinya
pengetahuan yang bertalian dengan jiwa, mistik, dll. Secara harfiah ‘aliran
kepercayaan’ dapat diartikan haluan pendapat tentang keyakinan terhadap
keterangan agama. Sedang ‘aliran kebatinan’ berarti haluan pendapat tentang
sesuatu yang tercantum dalam hati orang atau haluan pendapat tentang
pengetahuan yang bertalian dengan jiwa dan mistik.
Menurut
Badan Kongres Kebatinan Indonesia ( BKKI ) di Solo tahun 1956 menyatakan bahwa
Aliran kebatinan adalah sumber azas sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai
budhi luhur, guna kesempurnaan hidup[14].
Rahmat
Subagya mendefinisikan aliran kebatinan adalah segala usaha dan gerakan untuk merealisasikan daya bathin
manusia[15].
Sumantri
Mertodipuro; Kebatinan adalah cara ala Indonesia mendapatkan
kebahagiaan….kebatinan memperkembangkan inner reality, kenyataan rohani[16]
Mr
Wongsonegoro; Semua fikiran atau tindakan yang berdasarkan kekuatan gaib
(supernatural) yang mencari dan ingin mengetahui kenyataan dibelakang fenomena
alam[17].
Presiden
Soeharto mendefinisikan bahwa Aliran Kepercayaan adalah keyakinan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa diluar agama atau tidak termasuk kedalam agama[18].
C.
Sejarah
Budaya Kebatinan.
Pada
tanggal 19 dan 20 Agustus 1955 di Semarang telah diadakan kongres dari
berpuluh-puluh budaya kebatinan yang ada di berbagai daerah di Jawa dengan
tujuan untuk mempersatukan semua organisasi yang ada pada waktu itu. Kongres
berikutnya yang diadakan pada tanggal 7 Agustus tahun berikutnya di Surakarta
sebagai lanjutannya, dihadiri oleh lebih dari 2.000 peserta yang mewakili 100
organisasi. Pertemuan-pertemuan itu berhasil mendirikan suatu organisasi
bernama Badan Kongres Kebatinan Indonesia ( BKKI ) pada tahun 1956, yang
kemudian juga menyelenggarakan dua kongres serta seminar mengenai masalah
kebatinan dalam tahun 1959, 1961 dan 1962[19].
Kebanyakan
budaya kebatinan di Jawa awalnya merupakan budaya local saja dengan anggota
yang terbatas jumlahnya, yakni tidak lebih dari 200 orang. Budaya seperti itu
secara resmi merupakan “ aliran kecil “, seperti Penunggalan, Perukunan Kawula
Manembah Gusti, Jiwa Ayu dan Pansila Handayaningratan dari Surakarta, Ilmu
Kebatinan Kasunyatan dari Yogyakarta, Ilmu Sejati dari Madiun, dan Trimurti
Naluri Majapahit dari Mojokerta dan lain-lain.
Sebagian
kecil dari budaya kebatinan ini biasanya mempunyai anggota tak lebih dari 200
orang namun ada yang beranggotakan lebih dari 1000 orang yang tersebar di
berbagai kota di Jawa dan terorganisasi dalam cabang-cabang. Dan lima aliran
tersebar adalah Hardapusara dari Purworejo, Susila Budi Darma ( SUBUD ) yang
asalnya berkembang di Semarang, Paguyupan Ngesti Tunggal ( Pangestu ) dari
Surakarta, Paguyuban Sumarah dan Sapta dari Yogyakarta.
a.
Hardapusara
Hardapusara adalah yang tertua diantara kelima gerakan
yang tersebar itu, yang dalam tahun 1895 didirikan oleh Kyai Kusumawicitra,
seorang petani desa Kemanukan dekat Purworejo. Ia konon menamatkan ilmu dari
menerima wangsit dan ajaran-ajarannya semula disebut Kawruh Kasunyatan Gaib.
Para pengikutnya mula-mula adalah seorang priyayi dari Purworejo dan beberapa
kota lain di daerah Bagelan. Organisasi ini dahulu pernah berkembang dan
mempunyai cabang-cabangnya di berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Jakarta. Jumlah anggotanya konon sudah mencapai beberapa ribu orang.
Ajaran-ajarannya termaktub dalam dua buah buku yang oleh para pengikutnya sudah
hampir dianggap keramat, yaitu Buku Kawula Gusti dan Wigati[20].
b. Susilo Budi Darma ( SUBUD )
Susilo Budi Darma ( SUBUD ) didirikan pada tahun
1925 di Semarang, pusatnya sekarang berada di Jakarta. Budaya ini tidak mau
disebut budaya kebatinan, melainkan menamakan dirinya “ Pusat Latihan Kejiwaan”
, anggota-anggotanya yang berjumlah beberapa ribu itu tersebar di berbagai kota
diseluruh Indonesia dan mempunyai sebanyak 87 cabang di luar negri. Banyak dari
para pengikutnya adalah orang Asia, Eropa, Australia dan Amerika. Doktrin
ajaran organisasi itu di muat dalam buku berjudul Susila Budhi Dharma. Selain
itu, gerakan itu juga menerbitkan majalah berkala berjudul Pewarta Kejiwaan
Subud[21]
c. Paguyuban Ngesti Tunggal ( Pangestu )
Paguyuban Ngesti Tunggal, atau lebih terkenal dengan
nama Pangestu adalah sebuah budaya kebatinan lain yang luas jangkauannya.
Paguyuban berarti persatuan yang hidup dengan rukun dan bersatu. Ngesti berarti
berusaha Tunggal artinya satu atau yang satu.
Gerakan ini
didirikan oleh Soenarto, yang diantara tahun 1932 dan 1933 menerima wangsit
yang oleh kedua orang pengikutnya dicatat dan kemudian diterbitkan menjadi buku
Sasangka Djati[22].
Kedua pembantunya itu yang bernama R.Tumenggung Harjo Prakoso dan R.Trihardono
Sumodiharjo.[23]
Pangestu didirikan di Surakarta pada bulan Mei 1949,
dan anggota-anggotanya yang kini sudah berjumlah 50.000 orang tersebar di
banyak kota di Jawa, terutama berasal dari kalangan priyayi. Namun anggota yang
berasal dari daerah pedesaan juga banyak yaitu yang tinggal di pemukiman
transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan. Majalah yang dikeluarkan organisasi
itu Dwijawara merupakan tali pengikat bagi para anggotanya yang tersebar itu.[24]
Pangestu ini berkepercayaan bahwa Tuhan itu hanya
satu dan wajib disembah, Tuhan telah ada sebelum alam ini ada. Tuhan tidak
membutuhkan dan tidak terbatas oleh waktu dan tempat dank arena mutlaknya Tuhan
maka ia tidak memiliki sifat.[25]
d. Paguyuban Sumarah
Paguyuban Sumarah juga merupakan organisasi besar
yang dimulai sebagai suatu gerakan kecil, dengan pemimpinnya bernama
R.Ng.Sukirno Hartono dari Yogyakarta. Ia mengaku menerima wahyu pada tahun
1935. Pada akhir tahun 1940-an gerakan itu dimulai mundur, namun berkembang
kembali tahun 1950 di Yogyakarta. Jumlah anggotanya kini sudah mencapai 115.000
orang, baik yang berasal dari golongan priyayi maupun dari kelas-kelas
masyarakat lain.
e. Sapta Darma
Sapto Darma berasal dari bahasa Jawa Kuno terdiri
dari dua suku kata. Sapto berarti tujuh dan Dharmo berarti kewajiban. Jadi
Sapto Dharma adalah nama sebuah aliran kebatinan yang mendasarkan ajarannya
kepada pelaksanaan tujuh kewajiban.[26]
Sapta Darma adalah yang termuda dari kelima gerakan
kebatinan yang terbesar di Jawa yang didirikan tahun 1955 oleh guru agama
bernama Hardjosaputro yang kemudian mengganti namanya menjadi Panuntun Sri
Gutomo. Beliau berasal dari desa Keplakan dekat Pare, Kediri. Ia dilahirkan
pada tahun 1910, dan meninggal pada tanggal 16 Desember 1964.[27]
Berbeda dengan keempat organisasi yang lain, Sapta Dharma beranggotakan
orang-orang dari daerah pedesaan dan orang-orang pekerja kasar yang tinggal di
kota-kota. Walaupun demikian para pemimpinnya hampir semua priyayi. Buku yang
berisi ajarannya adalah kitab Wewarah Sapta Dharma.
Walaupun budaya kebatinan ada di seluruh daerah di
Jawa, namun Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa agaknya masih merupakan
tempat dimana terdapat paling banyak organisasi kebatinan. Dalam tahun 1970 ada
13 organisasi kebatinan disana, lima diantarannya dengan anggota sebanyak
antara 30-70 orang, tetapi ada satu yang anggotannya sekitar 500 orang dalam
tahun 1970. Sepuluh lainnya adalah organisasi-organisasi yang besar, yang
berpusat dikota-kota lain seperti Jakarta, Yogyakarta, Madiun, Kediri, dan
sebagainya.[28]
D. Sebab-sebab timbulnya aliran kebatinan
dan kepercayaan
Banyak hal yang mengakibatkan timbulnya aliran
kebatinan dan kepercayaan di Indonesia. Dilihat dari sudut pandang antropologi
timbulnya aliran kebatinan atau bahkan juga agama ( agama wadl’I ) adalah
disebabkan oleh pengalaman hidup manusia yang selalu menghadapi kesulitan dan
pengalaman menyelesaikan masalah yang sangat rumit bahkan mungkin tidak
dipecahkan. Pada dasarnya aliran kebatinan itu timbul karena terjadi respon
terhadap sesuatu yang terjadi atau tantangan yang datang dari lingkungan dimana
manusia itu berada.
Sebab timbulnya aliran kebatinan dan kepercayaan itu
diantaranya dapat disimpulkan sebagai berikut :
- “
Islam masuk Indonesia, khususnya Jawa, dengan jalan damai dan dengan
toleransi tinggi terhadap keyakinan yang ada sebelumnya yaitu Hindu-Budha
dan agama primitive, Ada sekelompok orang yang mencampur adukan ajaran
agama-agama dengan cara mengambil unsur dan ajaran dan keyakinan yang
paling baik pula.[29]
- Dari
sekelompok non-muslim menganggap bahwa agama-agama itu khusunya Islam,
adalah agama impor, maka mereka menolak dan bahkan mereka itu menentang
ajaran Islam.[30]
- Bagi
mereka yang menganggap bahwa agama-agama itu bukan asli Indonesia ( Jawa
), mereka ingin kembali dan mencari yang Jawa asli. Mereka menghendaki
agama yang benar-benar murni dan asli dari Tuhan yang diperuntukkan bagi
setiap individu.
- Sekelompok
orang yang ingin memasyhurkan nama, dengan membuat praktek perdukunan dan
perguruan kebatinan.
- Karena
kekacauan politik, ekonomi, social, budaya dan keagamaan, karena sulit
mengatasi masalah tersebut, orang cenderung untuk menanggulanginya
melewati jalan spiritual meninggalkan duniawi menengadah kelangit untuk
mendapatkan ketentraman jiwa menghindarkan diri dari penderitaan. Jalan
yang sering ditempuh untuk menanggulangi masalah, tidak lagi mengikuti
hukum alam, tetapi lebih suka menggunakan hal-hal ghaib yang tidak sejalan
dengan logika.
E. Corak-corak Kebatinan
a. Mistik Kebatinan
Menurut
pandangan ilmu mistik kebatinan orang Jawa, kehidupan manusia merupakan bagian
dari alam semesta secara keseluruhan, dan hanya merupakan bagian yang sangat
kecil dari kehidupan alam semesta yang abadi, dimana manusia itu seakan-akan
hanya berhenti sebentar untuk minum. Sikap, gaya hidup, dan banyak aktivitas sebagai
latihan upacara yang harus diterima dan dilakukan oleh seorang, yang ingin
menganut mistik dibawah pimpinan guru dan panuntun agama itu, pada dasarnya
sama pada berbagai gerakan kebatinan Jawa yang ada. Hal yang mutlak perlu
adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari dunia kebendaan, yaitu memiliki
sifat rila (rela) untuk melepaskan segala hak milik, pikiran atau perasaan
untuk memiliki, serta keinginan untuk memiliki. Melalui sikap rohaniah ini,
orang dapat membebaskan diri dari berbagai kekuatan serta pengaruh dunia
kebendaan di sekitarnya. Sikap menyerah serta mutlak ini tidak boleh dianggap
sebagai tanda sifat lemahnya seseorang, sebaliknya ia menandakan bahwa orang
seperti itu memiliki kekuatan batin dan keteguhan iman.
Kemampuan untuk membebaskan diri dari dunia kebendaan dan kehidupan duniawi juga melibatkan sikap narima yaitu sikap menerima nasib, dan sikap bersabar, yang berarti sikap menerima nasib dengan rela. Kemampuan untuk memiliki sikap-sikap semacam itu dapat diperoleh dengan hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup bersih, tetapi juga dengan jalan melakukan berbagai kegiatan upacara-kegiatan upacara yang meningkatkan kemampuan berkonsentrasi dengan jalan mengendalikan diri, dan melakukan berbagai latihan samadi. Melalui latihan bersemedi di harapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari keadaan sekitarnya; yaitu menghentikan segala fungsi tubuh dan keinginan serta nafsu jasmaninya.
Hal ini dapat memberikan keheningan pikiran dan membuatnya mengerti dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah. Apabila orang sudah bebas dari beban kehidupan duniawi (pamudharan), maka orang itu setelah melalui beberapa tahap berikutnya, pada suatu saat akan dapat bersatu dengan Tuhan (jumbuhing kawula Gusti, atau manunggaling kawula-Gusti) menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Namun dengan tercapainya pamudharan,
yang memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari kehidupan dunia kebendaan,
orang itu juga tidak terbebas dari kewajiban-kewajibannya dalam kehidupan yang
konkret, bahkan orang yang sudah mencapai pamudharan, wajib amemayu ayuning
bawana, atau berupaya memperindah dunia, yaitu berusaha memelihara dan
memperindah dengan jalan melakukan hal-hal yang baik, dan hidup dengan penuh
tanggung jawab.[31]
b. Gerakan Untuk Purifikasi Jiwa
Semua organisasi kebatinan yang besar umumnya, memang bersifat mistis, banyak gerakan kebatinan, terutama yang jumlah anggotanya sedikit, hanya berusaha untuk mencapai purifikasi jiwa, Hal yang mereka inginkan adalah memperoleh suatu kehidupan kerohanian yang mantap, tanpa rasa takut dan rasa ketidak-pastian. Inilah yang oleh orang jawa disebut orang yang sudah “bebas” (kamanungsan, kasunyatan).
Cara untuk kamanungsan pada umumnya sama dengan cara untuk mencapai pamudharan tersebut diatas. Kecuali beberapa variasi kecil, maka cara untuk mencapai purifikasi jiwa pada dasarnya adalah dengan menjalankan kehidupan yang penuh tanggung jawab, baik secara moral, sederhana, mampu membebaskan diri dari keduniawian, mempunyai sikap yang baik terhadap kehidupan, nasib dan kematian dan melakukan samadi secara ketat. Oleh karena gerakan-gerakan kebatinan ini berusaha mencari kebebasan rohaniah individu, maka orang mudah mengerti bahwa sifatnya agak individualis. Gerakan-gerakan seperti itu paling tidak menarik bagi orang-orang yang membutuhkan kehidupan keagamaan, tanpa harus mentaati peraturan-peraturan keagamaan yang resmi secara ketat, namun menyesuaikan dengan adat istiadat (Said 1972-a: 153-154).[32]
c. Kebatinan Yang Berdasarkan Ilmu
Gaib
Di seluruh daerah tempat tinggal orang jawa banyak terdapat gerakan-gerakan kebatinan yang hanya beranggotakan beberapa puluh orang saja. Kebanyakan dari gerakan seperti itu berpusat di kota-kota dan pada umumnya bersifat rahasia, yaitu dengan tujuan-tujuan yang bersifat mistik, moralis, atau etis dan dipimpin oleh seorang guru. Untuk mencapai tujuannya, para anggota gerakan seperti itu banyak melakukan praktek-praktek ilmu gaib, disamping studi dan bersamadi.
Banyak dari budaya semacam itu pada awalnya adalah suatu organisasi yang mengajar seni bela diri pencak. Selain memberi latihan fisik, gurunya juga melatih murid-muridnya untuk melakukan meditasi. Untuk menciptakan suasana keramat, ada juga yang ditambah berbagai ritus ilmu gaib secara rahasia yang dimaksudkan agar para muridnya, memperoleh kekebalan dan kesaktian tertentu.[33]
F. Penutup
Kepercayaan penduduk Indonesia pada
periode awal kepada kehidupan dan lingkungan mereka tinggal telah mendasari
adanya berbagai ragam keyakinan mereka di periode berikutnya, terlebih hal itu
juga dipengaruhi oleh penyebaran dakwah-dakwah penyebar agama-agaman di negeri
ini yang tidak dapat dipahami secara sempurna oleh penduduk Indonesia saat itu.
Aliran
Kepercayaan adalah suatu aliran yang berkaitan dengan alam ghoib yang tidak
bisa di akali oleh manusia. Dan Aliran Kebatinan adalah aliran yang
mengeluarkan kekuatan kebatinan dalam diri manusia.
Aliran
kepercayaan dapat disebut aliran kebatinan, kerohaniaan, kejiwaan, kejawen, dan
lain sebagainya.
Aliran keabatinan dengan cabang
pokoknya yaitu; Hardapusara dari Purworejo, Susila Budi Darma (SUBUD) yang
asalnya berkembang di Semarang, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) dari
Surakarta, Paguyuban Sumarah dan Sapta dari Yogyakarta, sama-sama bersifat atau
bercorak mistis, metafisis dan gaib, dengan bertujuan menyatunya diri dengan
Tuhan Yang Maha Esa, dengan berbagai corak tatacaranya yaitu; memisahkan diri
dari hal lahiriyah menuju hal yang bersifat batiniyah melalui mantra-mantra
dari para guru pada aliran masing-masing.
Corak-corak Kebatinan ada 3 : Mistik
Kebatinan, Gerakan untuk Purifikasi Jiwa, Kebatinan
Yang Berdasarkan Ilmu Gaib. Cara untuk purifikasi Jiwa itu ada Pamudharan (
terbebas dari beban kehidupan duniawi ), menjalankan kehidupan yang penuh
dengan tanggung jawab, baik secara moral, sederhana.
Sebab timbulnya Aliran Kepercayaan dan Kebatinan
dikarenakan oleh pengalaman hidup manusia yang selalu menghadapi kesulitan dan
pengalaman menyelesaikan masalah yang sangat rumit bahkan mungkin tidak
dipecahkan
Daftar Pustaka
Abdul
Mutholib Ilyas, Drs.Abdul Ghofur Imam, Drs, 1988, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di
Indonesia, CV Amin Surabaya.
Hadiwijono, Harun, 1983, Konsepsi tentang Manusia
dalam Kebatinan Jawa, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
______________, Kebatinan dan Injil BPK
Gunung Mulia, Jakarta.
Hamka, Prof.Dr, 1976, Perkembangan Kebatinan di
Indonesia, Bulan Bintang Pustaka.
Kampussamudrailmuhikmah.wordpress.com.
Kartapraja,
Prof.Kamil, 1985, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia.
Penerbit Yayasan Masagung, Jakarta.
Mariyat,
Drs.H.M. Akrim, Dipl.A.Ed, 1997, Ajaran Beberapa Aliran Kebatinan,
Penerbit Darussalam Press Gontor-Ponorogo.
Nusadwipa.blogspot.com
Purwadarminta,
WJS, 1952, Kamus Umum Bahasa Indonesia Balai Pustaka, Jakarta.
Rasjidi , Prof.Dr.H.M., 1986, Islam dan Kebatinan, Bulan
Bintang, Jakarta.
Rimbaspiritual.blogspot.com.
Subagyo, Rahmat, 1979, Agama dan alam Kerohanian
Indonesia, Nusa Indah, Jakarta.
,
1976, Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan, dan Agama, Penerbit
Yayasan Kanisius, Yogyakarta.
Sufaat
M, 1985, Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan, Penerbit Kota Kembang,
Yogyakarta.
www.scribd.com.
[1] Drs.H.M.Akrim Mariyat, Dipl.A.Ed, Ajaran
Beberapa Aliran Kebatinan, Penerbit Darussalam Press Gontor-Ponorogo, 1997,
hal 111.
[2] Kepercayaan kepada roh yang mendiami
benda-benda.
[3] Kepercayaan bahwa
segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup.
[4] Kepercayaan kepada
hantu atau makhluk halus yang kadang mengganggu manusia, sehingga orang
memuliakan tempat-tempat angker dengan memberi sesajen supaya tidak diganggu.
[5] Kepercayaan kepada kekuatan yang kabur atau
tak terduga dan mengerikan yang bisa menimpa kepada manusia.
[6] Kepercayaan kepada banyak dewa-dewa atau
Tuhan-tuhan.a
[7] Kepercayaan kepada
kepada para dewa atau Tuhan yang sangat menonjol yang dipercayainya.
[8] Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal.
[9] Sebagian
kecil dari budaya kebatinan ini biasanya mempunyai anggota tak lebih dari 200
orang namun ada yang beranggotakan lebih dari 1000 orang yang tersebar di
berbagai kota di jawa dan terorganisasi dalam cabang-cabang.
[10] Rahmat Subagyo, Agama
dan alam Kerohanian Indonesia, hlm 200, Nusa Indah, Jakarta, 1979.
[11] Ibid, hal 208.
[12] WJS Purwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia Balai Pustaka, Jakarta 1952, hal 75.
[13] Ibid, hal 532.
[14] Sufaat M, Beberapa
Pembahasan tentang Kebatinan, Penerbit Kota Kembang, Yogyakarta,1985, hal
9.
[15] Rahmat Subagya, Kepercayaan, Kebatinan,
Kerohanian, Kejiwaan, dan Agama, Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta,
1976, hal 15.
[16] Ibid, hal 21
[17] Ibid, hal 34
[18] Prof.Kamil Kartapraja, Aliran Kebatinan
dan Kepercayaan di Indonesia. Penerbit Yayasan Masagung, Jakarta, 1985, hal
1.
[19] www.scribd.com
[20]
Rimbaspiritual.blogspot.com
[21] Kampussamudrailmuhikmah.wordpress.com
[22] M.Akrim Mariyat, Ajaran Beberapa Aliran
Kebatinan, hlm 47-48.
[23] Drs.Abdul Mutholib
Ilyas, Drs.Abdul Ghofur Imam, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia,
CV Amin Surabaya, hal. 124-125.
[24] Kampussamudrailmuhikmah.wordpress.com
[25] Drs.Abdul Mutholib Ilyas, Drs.Abdul Ghofur
Imam, op.cit.hal 67-68, lihat juga Harun Hadiwijono, Konsepsi tentang
Manusia dalam Kebatinan Jawa, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1983 hal
122-123.
[26] Prof.Kamil Kartapradja, op.cit.hal 80.
[27] Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, op.cit.hal.26-27.
[28] Ibid
[29] Prof.Dr.Hamka, Perkembangan Kebatinan di
Indonesia, Bulan Bintang Pustaka, 1976, hal 53.
[30] Lihat dan bandingkan
dengan Darmogandul & Gatoloco. Prof.Dr.H.M.Rasjidi, Islam dan Kebatinan,
Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hal 5-8.
[31] nusadwipa.blogspot.com
[32] Ibid
[33] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar