Oleh : A.Reza Hutama AL-Faruqi
Pendahuluan
Sejarah
mencatat bahwa masuknya Islam di Indonesia pada abad VII M melalui beberapa
jalur diantaranya melalui dai-dai pedagang dari Arab, Persia, Lalu India dengan
teori Gujarat. Ini dapat terlihat dari fakta sejarah berupa berdirinya kerajaan
Samudra Pasai al-Malik as-Salih sebagai sultan pertama di Sumatra dan runtuhnya
kerajaan Majapahit yang digantikan oleh kekuasaan kesultanan Demak di Jawa yang
menandakan bahwa Islam telah berkuasa di daerah tersebut.[1]
Dari
sini dapat diasumsikan bahwa islamisasi Jawa tidak terlepas dari jalur penting,
tetapi islamisasi ini kuarang efektif dikarenakan masyarakat islam kuarng
mendapatkan struktur kekuasaan politik pada kerjaan tersebut. Hal inilah yang
menimbulkan lahirnya peran walisanga (wali sembilan) yang menyebarkan islam
melalui dua pendekatan yaitu dakwah lewat kebudayaan dan dakwah melalui
pengaruh kekuasaan dan politik.
A. Dakwah
dan Budaya
Secara
umum dinyatakan bahwa masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, khususnya di
Jawa terjadi secara alami dan damai tanpa proses revolutif atau pun peperangan
dengan mengesanpinka beberapa kejadian dan tafsiran sejarah atasnya yang dapat
memperlihatkan indikasi yang berbeda.[2]
Hal ini tidak lepas dari peran walisanga yang berdakwah dengan kebijaksanaanya,
kesaktian-kesaktian dan kekuatan magis yang masih cukup populer dikalangan
masyarakat (primitif) Jawa pada masa itu. Melalui kesaktian-kesaktian itulah
ditumbuhkan anggapan dalam diri masyarakat bahwa apa yang dibawah oleh wali
adalah hal yang penting. Dan melalui sugesti dan hipnotis juga masyarakt
sebagai objek dakwah dapat dikendalikan dan diarahkan.[3]
Selain
hal di atas perpaduan Jawa (yang bernuansa Hindu) dengan Islam secara tekstual
dapat dengan mudah dicari pada metode-metode dakwah yang dikembangkan oleh
walisanga. Salah satu buktinya yaitu islamisasi wayang yang dilakukan oleh trio
wali janget tinelon: Sunan Kalijaga, Sunan Giri, dan Sunan Bonan, dengan
sumber cerita utamanya dari Hindu-Hindia Arjuna Wiwaha, Mahabharata dan
Ramayana, yang sudah dijawakan. Islamisasi wayang dapat dilihat dari kisah
tentang Jamus Kalimasahada yang sebelumnya tidak ada, tapi diadakan oleh Sunan
Kalijaga, bahkan hal yang lebih ekstrim yaitu berkembang pandangan bahwa
Puntadewa (tokoh tertua Pandawa) sudah memeluk agama Arab namun hanya untuk
dipakai sendiri tanpa mengajarkan pada orang lain.[4]
Fenomena
seperti di atas juga terjadi pada sektor budaya yang lain, yakni pada persoalan
legitimasi (pengakuan secara hukum) spiritual kehidupan. hal ini terlihat
ketika senapati (raja Mataram pertama) memiliki hubungan spiritual dengan Sunan
Kalijaga (Islam) yang sering memberikan petunjuk-petunjuk ataupun
teguran-teguran.[5]
Selain itu disebutkan juga bahwa sultan Mataram memerintahkan para ulama untuk
berdoa guna menghentikan letusan Gunung Merapi pada tahun 1672 M.[6]
Perpaduan
sumber legitimasi ini juga terlihat pada upacara-upacara tradisional keagamaan.
Selain untuk memperingati hari-hari besar Islam, upacara tersebut biasanya juga
merupakan kesempatan dan media untuk memberikan sesaji dan persembahan bagi
para penguasa alam gaib yang diharapkan bantuan dan perlindungannya.[7]
B.
Dakwah dan Politik
Pada
masyarakat yang masih primitif, kedudukan dan keunggulan seseorang ditentukan
oleh kekuatan magis yang dimilikinya, yang pada giliranya akan menentukan pula
besar-kecilnya kharismanya untuk mempengaruhi orang lain. Dalam beragama,
masyarakat pada tahapan ini cenderung untuk mengikuti pikiran dan pandangan
orang lain berdasarkan kekuatan dan kharisma orang tersebut. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa Keraton, dengan segala dinamika kehidupanya (dapat
dikatakan bahwa Keraton sebagai replika kosmis yang sekaligus sebagai pusat
mistik dan pusat dunia), memiliki pengaruh yang sangat menetukan dalam
kehidupan masyarakat.[8]
Berangkat
dari pemikiran ini, maka kehadiran Keraton Demak tidak mungkin diabaikan begitu
saja peranannya dalam sejarah penyebaran Islam pada masa itu. Pentingya
kekuasaan politik bagi kelangsungan dakwah ini tentunya disadari oleh para
walisanga, sehingga tidaklah mengherankan kalau mereka juga banyak terlibat
dalam percaturan politik.[9]
Seperti Sunan Kudus sebagai panglima perang yang menggantikan Sunan Ngudung
ketika menyerang Majapahit yang dibantu oleh para wali yang lain.[10]
Dimanfaatkanya
jalur kekuasaan dalam dakwah dapat dilihat juga pada proses pendiriran mesjid
Demak yang didirikan oleh para wali sebagai pusat dakwah, namun tidak seperti
dengan mesjid lain pada umumnya. Hal ini dikarenakan mesjid Demak adalah mesjid
Keraton yang pengolaanya langsung di bawah sultan yang bertahta.[11]
Selain itu, pada jaman Demak ini pula dikenal adnaya semacam lembaga dakwah
yang beranggotakan para wali dan dipimpin langsung oleh sultan.[12]
Peranan
kesultanan Demak dalam usaha dakwah juga dapat dilihat dalam kisah pemanggilan
dan pengadilan atas Syekh Siti Jenar karena menyebarkan ajaran yang menimbulkan
keresahan secara politis dan sesat dalam pandangan agama yang berkuasa. Proses
peradilan Siti Jenar dilaksanakan di depan sidang walisanga yang berfungsi
sebagai penasihat sultan.[13]
Peranan
wali tampak sangat dominan pada masa Demak-Pajang hingga Mataram awal.
Dikasahkan Sunan Kudus yang sangat berpengaruh pada waktu itu menetapkan
pengganti sultan Hadawijaya bukan pangerang Benawa (putra sultan) tapi Sunan
Kudus justru menunjuk Arya Pangiri (seorang menntu sultan pada saat itu
menjabat adipati Demak) untuk menduduki tahta pajang.[14]
Pengaruh
para wali pada zaman mataram dapat dilihat pada kisah Sunan Kalijaga dan
anaknya Sunan Adi yang menegur senapati mengenai laku spiritual yang
dijalaninya di laut selatan dan juga tentang kota Mataram yang baru dibangunya.[15]
Peran wali pada masa Mataram tampaknya mulai berkurang, peran mereka sebagai
penasihat dan pejabat penting kerjaan lebih banyak diambil alih oleh
orang-orang Jawa dari kerabat kerajaan.[16]
C. Isalam
Jawa
Islam
yang berkembang di Jawa bisa dikatakan sangat khas dan unik, yakni ketika
terjadi penerapan konsep-konsep agama dalam formulasi kultus Keraton, yang
kemudian menjadi model konsepsi Jawa tradisional mengenai seluruh aspek
kehidupan. [17]
Muncul
dan berkembangnya Islam di Jawa sangat terkait erat dengan strategi dan metode
dakwah yang telah diterapkan oleh walisanga pada awal penerapan Islam di Jawa,
yang memanfaatkan jalur struktur kekuasaan politik maupun jalur kebudayaan.
Sulit disangkal bahwa salah satu kunci keberhasilan walisanga mengislamkan Jawa
dalam waktu singkat adalah dipakainya jalur politik dalam berdakwah.
Islam
yang dibawa oleh para wali tersebut tidak diarahkan untuk merubah secara total
pandangan Jawa terhadap kosmis yang menjadi pandangan dunia mereka. Islamisasi
lebih ditekankan pada uapaya penyisipan nilai-nilai Islam dalam stuktur
kemasyarakatan.
Pada
tahap-tahap awal, strategi dari jalur dakwah tampak sangat efektif dengan
indikasi cepatnya masyarakat Jawa terislamkan, namun efektifitasnya cendrung
menurun pada masa-masa berikutnya. Hal ini disebabkan : 1. Menurunnya peran
politik kaum agama dalam percaturan kekuasaan Negara, sebagai akibat dari 2.
Menguatnya kembali kekuatan politik dengan semakin kukuhnya identitas
kejawaannya.
Posisi
sentral dalam struktur masyarakat Jawa, yang dalam hal ini ditempati oleh
keraton dan Raja, tampaknya tidak mungkin dan tidak diinginkan oleh para
walisanga untuk dihilangkan, tapi ada kemungkinan untuk ditambah, digeser atau
bahkan diganti sama sekali. Konsep ini dapat dipahami dari pendirian mesjid
Demak Dalam lingkungan keraton. Dengan adanya mesjid, ynag waktu itu secara
resmi juga merupakan pusat dakwah, perhatian masyarakat tidak lagi semata-mata
tertuju pada keraton taetapi juga pada mesjid, dan raja tidak lagi sebagai
satu-satunya figure utama karena ada wali yang mendampinginya sebagai penasehat
dan pemegang otoritas agama.
Asumsi
bahwa proses transformasi yang dirintis walisanga untuk membelokkan orientasi
ideology masyarakat dari keraton dan raja menuju mesjid dan ulama sebagai
manifestasi yan ilahi, tidak terwujud karena peran para wali dihapus dalam
lembaga penasehat kesultanan dan dibubarkannya lembaga dakwah yang berpusat di
Keraton. Raja dan Keraton kembali menempati posisinya sebagai pusat dunia tanpa
saingan. Lebih dari itu, peran peran politik kaum agama diambil alih oleh
orang-orang yang secara ideologis “lebih jawa” daan secara geneologis adalah keturunan
raja-raja pra Islam. Kaum agama menjadi kaum yang tersisihkan bahkan ditolak
pengaruhnya dan menjadi musuh Negara.[18]
Walisanga kurang berhasil untuk tidak mengatakan gagal membentuk atau pun
merubah basis ideology masyarakat Jawa.
Fenomena
diatas jika dipandang dari sisi pemahaman keislaman yang lebih bersifat
normative, dapat dikatakan sebagai kegagalan dakwah, karena Islam yang
didakwahkan tidak mampu menjadi norma satu-satunya bagi kehidupan masyarakat.
Namun, disisi lain, warna-warna keislaman dalam tata kehidupan masyarakat
maupun di pusat kehidupan mereka, yaitu keraton tidak dapat diabaikan begitu
saja. Terlepas dari penilaian kualitatif terhadap nilai keberagamaannya, islam
telah menjaadi atribut resmi Keraton dan masyarakat secara luas.
Fungsi
dan peran spiritual yang sebelumnya dipegang para wali telah diambil alih
kembali oleh elit-elit lama yang kembali berkuasa dengan agama barunya,
termasuk dalam pengembangan dan pengembangan konsep agama baru yang akan
diberlakukan bagi keraton, yang kemudian diikuti oleh masyarakat luas. Dengan
demikian, dakwah yang dibawa oleh para wali dari sudut pandang ini telah
terhenti pada tahap pengenalan ide baru (islam) sebagai sebuah pandangan dunia,
yang pengolahan dan penyelesaiannya telah diambilalih oleh orang lain. Sebagai
akibatnya, konsep Islam-Jawa lebih berwarna Jawa daripada warna Islam. Dakwah
yang dilakukan oleh para wali belum mampu menggeser titik penting dalam konsep
keberagamaan masyarakat Jawa.
Dari
tijauan sepintas diatas, terlihat bahwa dakwa yang dilakukan walisanga pada
awal islamisasi di jawa tidak ada yang melanjutkan. Pasca walisanga,
transformasi yang digariskan talah mengalami kemandekan, karena basis ideologis
yang digariskan tidak terlalu kuat untuk menggeser ataupun mewarnai infrastruktur
yang sudah mapan. Hal inilah yang menjadi penyebab kegagalan proses dakwah
dalam dalam jangka panjang, sehingga Islam pada masa-masa selanjutnya hanya
menjadi bagian budaya Jawa. Kegagalan Islam karena terhentinya transformasi
social budaya ini tampak merupakan fenomena umum dalam sejarah Islam. kejayaan
Islam yang tiba-tiba banyak mengalami kehancuran adalah Karena transformasi
yang dilakukan tidak terbuka dan terus-menerus.
Kesimpulan
Dakwa yang dilakukan walisanga pada
awal islamisasi di jawa tidak ada yang melanjutkan. Pasca walisanga,
teransformasi yang digariskan talah mengalami kemandekan, karena basis
ideologis yang digariskan tidak terlalu kuat untuk menggeser ataupun mewarnai
infra struktur yang sudah mapan. Hal inilah yang menjadi penyebab kegagalan
proses dakwah dalam dalam jangka panjang, sehingga islam pada masa-masa
selanjutnya hanya menjadi bagian budaya jawa.
Daftar
Pustaka
Amen Budiman, walisanga.
D.
Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1983).
Dala Amen Budiman, Walisanga:
antara Legenda dan Fakta Sejarah (Semarang: Tanjung Sari, 1982).
H. J. De Graaf, Awal
Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, terjemahan (Jakarta: Grafiti, cet . II, 1987), hlm.
46-47.
, Awal Kebangkiatan Mataram, khususnya
pada bab-bab awal.
Hamka,
Sejarah Umat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, cet. III, 1981), IV: 49
Ki
M A. Machfoeld, Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: Yayasan an-Nur, 1970),
I:65-69
Woodward, Islam Jawa.
Woodward, Islam Jawa.
Ridin Sofwan, Wasit,
dan Mundiri, Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, menurut
penuturan Babad (Yogyakrta: Pustaka Pelajar, 2000)
Wiji
saksono, Mengislamkan Tanah Jawa.
[1]
Hamka, Sejarah Umat Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
cet. III, 1981), IV: 49.
[2] “Indikasi lain” ini,
misalnya, apa yang ditulis oleh H. Van der Horst yang mengutip sumber dari Jawa
Barat, Sadjarah Banten, mengenai “pengislaman” daerah Mataram yang dilakukan
dengan cara penyerangan dan penaklukan (kekerasan); H. J. De Graaf, Awal
Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, terjemahan
(Jakarta: Grafiti, cet . II, 1987), hlm. 46-47.
[9]
Sejarah masing-masing wali dan keterlibatanya
dalam tata politik di Jawa dapat dibaca misalnya dala Amen Budiman, Walisanga:
antara Legenda dan Fakta Sejarah (Semarang: Tanjung Sari, 1982); bandingkan
dengan H. J. De Graaf, Awal Kebangkiatan Mataram, khususnya pada bab-bab
awal; juga Wiji Saksosno, Mengislamkan Tanah Jawa, hlm 116-143.
[11] Ridin Sofwan, Wasit,
dan Mundiri, Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, menurut
penuturan Babad (Yogyakrta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm 118.
[12] Lembaga ini terdiri
dari delapan wali, sehingga berjumlah sembilan orang dengan sultan sebagai
ketuanya. Dari sini kemudian muncul salah satu pandangn bahwa walisnga bukanlah
sebutan untuk sembilan orang wali secara individual, tetapi walisanga lebih
merupakan lembaga dengan anggota para wali tersebut. Lembaga ini jugaberfungsi
sebagai dewan penasehat kesultanan, hanya saja lembaga ini kemudain dihapuskan
pada masa pemerintahan Hadiwijaya dan fungsi kepenasehatan digantikan oleh
dewan nayaka (dewan meteri), yang juga berjumlah delapan orang, yang diketuai
oleh; Ki M A. Machfoeld, sunan kalijaga, hlm 60.
[13]
Ibid,
hlm. 63-66; bandingkan dengan Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri, islamisasi,
hlm. 201-226.
[16]
Banyak
asumsi yang dapat dibangun dari keadaan ini: berkhirnya masa kehidupan sunan,
tersingkirnya tokoh-tokoh ortodoks dalam percaturan politik serta agama secara
umum dan meguatnya kekuatan politik atas agama, dan kembali mengentalnya
ide-ide ‘asli’ Jawa. Hanya saja, mengenai fenomena ini perlu diadakan
penilitian lebih lanjut.
[18]
Bandingkan dengan
sejarah islam klasik pasca khulafa’urrasyidun, yakni ketika sistem politik di
dunia Islam lebih condong pada sistem monarkhis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar