Latar Belakang
Abad pertengahan merupakan periode bertemunya
antara iman dan akal budi. Zaman ini bermula dari jatuhnya kekaisaran Romawi
sampai dengan permulaan jaman modern. Sejarawan umumnya menentukan tahun
476, yakni masa berakhirnya kerajaan
Romawi barat yang berpusat di kota Roma dan munculnya kerajaan Romawi timur
yang saat ini berpusat di Konstantinopel (sekarang Istambul).[1] Adapun
istilah abad pertengahan sendiri (yang baru muncul pada abad ke-17) sesungguhnya
hanya berfungsi untuk menjelaskan zaman ini sebagai zaman peralihan atau zaman tengah
antara dua zaman, yakni zaman kuno (Yunani dan Romawi). Dan jaman modern, yang
diawali dengan masa Rennaissan.[2]
Zaman abad pertengahan ini ditandai dengan
bertemunya dua ideologi besar, yakni filsafat[3]
dan teologi. Pada mulanya, filsafat dan teologi dianggap sebagai dua
pengetahuan yang bertentangan. Namun, akhirnya dengan adanya zaman abad pertengahan,
dua ideologi besar tersebut dapat disatukan, di mana filsafat merupakan
penghantar menuju teologi. Secara lebih khusus, filsafat memberikan penopang
kepada setiap ilmu yang mencoba untuk mensistematisasikan serta membetulkan
segala sesuatu. Teologi adalah suatu ilmu yang berdasarkan wahyu dari Allah.
Dengan adanya filsafat, teologi dikritisi secara sistematis, maka dengan paham
lama, dengan tidak disenangi oleh para filsuf, filsafat disebut sebagai ancila theologie (abdi /pelayan
teologi). Dengan paham filsafat, teologi dijelaskan secara sistematis, logis,
dan metodis. Selain itu, filsafat berusaha untuk menerangkan paham-paham yang
ada pada teologi, agar mampu diangkat, dimengerti dan diterima oleh akal budi.
Dalam paper ini secara lebih khusus penulis
mencoba untuk memasuki salah satu bagian dari abad pertengahan yakni Filsafat
Islam. Bagi umat islam, filsafat disebut sebagi Al-Falsafah atau Hikmah. Salah
satu filsuf islam yang akan penulis pilih adalah Ibnu Sina. Dalam bahasa Arab
nama lengkapnya adalah Abu Ali Al Husein
Ibnu Abdilah Ibnu Sina. dalam dunia barat lebih dikenal dengan nama
Avicena.[4] Dalam
paper ini, penulis akan mencoba menggali lebih dalam mengenai bagaimana
pemikiran Ibnu Sina dalam filsafatnya menjelaskan penciptaan pada teologi
islam? Pertanyaan inilah yang menjadi pokok bahasan dalam paper ini.
Pembahasan
Sebelum beranjak lebih jauh, penulis akan menjelaskan
bagaimana Teologi Islam dalam kaitanya dengan terjadinya penciptaan. Dalam kitab Al-Qur’an, Tuhan telah
menciptakan langit dan bumi beserta seluruh isinya. Hal ini tertulis dalam Al
Qur’an sebagai berikut:
¨bÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏG÷z$#ur È@ø©9$# Í$yg¨Y9$#ur Å7ù=àÿø9$#ur ÓÉL©9$# ÌøgrB Îû Ìóst7ø9$# $yJÎ/ ßìxÿZt }¨$¨Z9$# !$tBur tAtRr& ª!$# z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB &ä!$¨B $uômr'sù ÏmÎ/ uÚöF{$# y÷èt/ $pkÌEöqtB £]t/ur $pkÏù `ÏB Èe@à2 7p/!#y É#ÎóÇs?ur Ëx»tÌh9$# É>$ys¡¡9$#ur ̤|¡ßJø9$# tû÷üt/ Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷èt ÇÊÏÍÈ [5]
Artinya “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.(
Al-Baqoroh :164 )
cÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$# tbrãä.õt ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ [6]
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Al-Imron : 192-192).
Segala yang ada, baik di atas bumi maupun di
bawah bumi semuanya adalah karya tangan Tuhan. Sehingga bagi umat islam, segala
yang ada merupakan suatu karya Tuhan dan semua berasal dari padanya,baik yang
kelihatan maupun yang tidak kelihatan.
Menanggapi hal itu, Ibnu sina sebagai seorang
Filsuf islam yang berasal dari Persia, berusaha merasionalkan apa yang menjadi
kepercayaan bagi umat islam. Sebab baginya banyak dari hasil-hasil filsafat
yang sesuai dengan prinsip agama.[7] Karena
itu, beliau berusaha mendekatkan filsafat dengan dalil-dalil agama. Meskipun
dalam Al Qur’an tidak dijelaskan secara mendetil bagaimana proses dari firman
Tuhan (kun fayakun). Bagi beliau hal
ini bukanlah suatu larangan bagi kita untuk menyelidiki tanda-tanda kebesaran
Tuhan dalam rahasia alam ini.[8]
Definisi
tentang tuhan sebagai yang maha tahu diterangkan Ibnu Sina dalam kitabnya Al
Isyaat sebagai berikut “maha tahu adalah perwakilan dalam undang alam semesta,
dalam pengetahuan abadi, dan dalam suatu waktu tertentu”. Undang pelimpahan
tuhan dalam bentuk hirarki dan kekhususan adalah dengan pelimpahan rasional.
Tuhan menghendaki baik, oleh karena itu ia menyempurnakan wujudnya. Makhluk
adalah baik dan kesmpurnaan makhluk itu adalah terdapat dalam segala makhluk.
Semua wujud dan kesempurnaan terdapat dalam segala makhluk. Karena segala
kebaikan dan kesempurnaan datang dari Tuhan. Sebab itu Tuhan mempunyai sifat
Rahman dan Rahim, Ia akan menjelma dalam setiap yang dikuasainya.
Jika
keindahan tidak terdapat dalam suatu makhluk itu bukanlah ia bersifat kurang
atau tidak sempurna, akan tetapi karena tidak lengkapnya makhluk itu sendiri.
Hal itu juga disebabkan kemungkinan alam dari mana makhluk itu dijelmakan, yang
menyebabkan ia tidak sempurna. Benda yang terpisah dari bentuk, bukanlah
makhluk benda, maka harus tidak terpisah dari bentuk, yang membawanya kepada
kepentingan menjadi wujud hakiki. Bentuk adalah pakaian bagi kesempurnaan dan
kebaikan yang terdapat pada benda. Tuhan sebagai puncak makhluk maka Tuhan pula
merupakan puncak rupa dengan yang memberi nikmat. Dari keadaan ini kita harus
mengenal tuhan sebagai wakil sebab.[9]
Dalam
membahas mengenai adanya Tuhan dalam hubungannya dengan alam semesta. Ibnu sina
mengatakan dalam bukunya “Al-Isharat”, “Titik dan Pandangan argument orang
terhadap wujud yang pertama, keEsaan-Nya ke Maha Agungan-Nya, tidak berkehendak
pada sesuatu yang lain selain dari ciptaan dan bentuknya”.[10]
Meskipun ciptaannya dipandang sebagai tanda adanya Tuhan. Orang akan lebih
mengerti dengan lebih kuat dan baik terhadap Tuhan, karena adanya makhluk
berarti adanya Tuhan. Adanya segala makhluk, dapat dibenarkan pendapat tentang
: Adanya Tuhan.[11]
Pandangan
Tentang Wujud
Dari
tuhanlah kemaujudan yang mesti mengalir intelegensi pertama sendirian karena
hanya dari yang tunggal, yang mutlak sesuatu dapat terwujud. Tetapi sifat intelegensi
pertama tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia
hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh tuhan. Intelegensi
pertama memunculkan dua wujud:
1.
Intelegensi ke dua melalui kebaikan ego tertinggi
dari adanya aktualitas.
2.
Lingkungan pertama dan tertinggi berdasarkan segi
terendah dari adanya, dan kemungkinan alamiahnya.
Dua
proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita mencapai intelegensi
kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosof muslim disebut
malaikan Jibril, karena ia memberi bentuk atau memberitahukan materi dunia ini,
yaitu materi fisik dan akal manusia.
Hanya
tuhan yang memiliki wujud tunggal secara mutlak, sedang segala sesuatu yang
diluar dirinya memiliki kodrat yang mendua. Oleh karena itu Tuhan adalah
identik dengan eksisensinya. Adanya Tuhan adalah suatu keniscayaan, sedang
adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya tuhan, dan
dugaan bahwa tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian
yang lainpun juga tidak ada. Ibnu Sina berpandangan bahwa hanya dari bentuk dan
materi saja kita tidak akan pernah mendapatkan eksistensi yang nyata, tetapi
hanya kausalitas-kausalitas esensial kebetulan. Bentuk dan materi itu
bergantung pada tuhan (atau akal aktif) dan lebih jauh lagi bahwa eksistensi
yang tersusun juga tidak bisa hanya disebabkan oleh bentuk dan materi saja,
tetapi harus terdapat sesuatu yang lain.
Esensi
mewujud dalam pikiran Tuhan dan dalam pikiran-pikiran intelegensi-intelegensi
aktif sebelum hal-hal yang ada itu maujud di dalam dunia lahiriah, dan mereka
juga ada dalam pikiran kita setelah mereka itu mewujud. Keberadaan adalah
sesuatu yang ditambahkan, bukan pada objek-objek yang ada, namun pada esensi.
Bila keberadaan dihubungkan dengan esensi, maka keberadaan ini sama dengan
“adalah sesuatu”. Prinsip tunggal dari sesuatu yang ada adalah tuhan, penyebab
kemaujudan materi adalah penyebab okasional kemaujudan yang mensuplai
sifat-sifat lahiriah kemajemukan.
Pemikiran Ibnu Sina dalam Menjelaskan Proses Penciptaan
Alam ini ialah makhluk yang baru dicipta
oleh Allah S.W.T setelah sebelumnya ia tiada. Ini berdasarkan dalil al-Qur’an,
hadis dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam. Firman Allah S.W.T:
cÎ) ãNä3/u ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû ÏpGÅ 5Q$r& §NèO 3uqtGó$# n?tã ĸóyêø9$# ÓÅ´øóã @ø©9$# u$pk¨]9$# ¼çmç7è=ôÜt $ZWÏWym }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur tPqàfZ9$#ur ¤Nºt¤|¡ãB ÿ¾ÍnÍöDr'Î/ 3
wr& ã&s! ß,ù=sø:$# âöDF{$#ur 3
x8u$t6s? ª!$# >u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÎÍÈ [12]
Artinya: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah
Allah Yang menciptakan langit dan bumi Dalam enam masa lalu ia bersemayam di
atas Arasy; ia melindungi malam Dengan siang Yang mengiringinya Dengan deras
(silih berganti) dan (ia pula Yang menciptakan) matahari dan bulan serta
bintang-bintang, (Semuanya) tunduk kepada perintahNya. ingatlah, kepada Allah
jualah tertentu urusan menciptakan (sekalian makhluk) dan urusan pemerintahan.
Maha suci Allah Yang mencipta dan mentadbirkan sekalian alam.
Sesungguhnya membahagikan kewujudan
kepada “wajib al-wujud” dan “mumkin al-wujud” yang (diciptakan) selepas
sebelumnya tidak wujud; pembahagian tersebut adalah dianggap suatu kerosakan
yang sudah sedia maklum diketahui oleh semua orang yang berakal. Selain Allah
semuanya bersifat baru, ia wujud setelah asalnya ia tiada dan bahawasanya Allah
S.W.T adalah Pencipta bagi setiap sesuatu yang pada asalnya tiada. Hanya Allah
sahaja yang bersifat kekal dan qidam dan sudah tentulah apa yang selainNya
bersifat baru kerana asalnya tiada.
Allah S.W.T hanya mengetahui yang
terperinci sahaja. Teori ini di tolak kerana Allah S.W.T dalam asma
al-husnaNya, Allah swt. disebut sebagai Al ‘Alim (Yang Maha Mengetahui).
Bahwasanya ilmu Allah tidak terbatas. Dia
mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, yang dahulu, sekarang,
ataupun besok, baik yang ghaib maupun yang nyata. Firman Allah S.W.T:
óOs9r& öNn=÷ès? cr& ©!$# ãNn=÷èt $tB Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 3 ¨bÎ) Ï9ºs Îû A=»tFÏ. 4 ¨bÎ) y7Ï9ºs n?tã «!$# ×Å¡o ÇÐÉÈ [13]
Maksudnya: Bukankah Engkau telah
mengetahui bahawasanya Allah mengetahui Segala Yang ada di langit dan di bumi?
Sesungguhnya Yang demikian itu ada tertulis di Dalam Kitab (Lauh Mahfuz);
Sesungguhnya hal itu amatlah mudah bagi Allah.
Teori Ibnu Sina mengatakan bahawa alam ini terhasil melalui proses emanasi.
Dapat dilihat disini ianya bertentangan sekali dengan prinsip dalam al-Quran
iaitu dalam Firman Allah Ta’ala:
ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur $yJßguZ÷t/ Îû ÏpGÅ 5Q$r& ¢OèO 3uqtGó$# n?tã ĸöyèø9$# (
$tB Nä3s9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB <cÍ<ur wur ?ìÏÿx© 4
xsùr& tbrã©.xtFs? ÇÍÈ ãÎn/yã tøBF{$# ÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# n<Î) ÇÚöF{$# ¢OèO ßlã÷èt Ïmøs9Î) Îû 5Qöqt tb%x. ÿ¼çnâ#yø)ÏB y#ø9r& 7puZy $£JÏiB tbrãès? ÇÎÈ [14]
Artinya: Allah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy’. Bagimu tidak ada
seorang pun pemolong mahupun pemberi syafaat selain Dia. Maka apakah kamu tidak
memerhatikan? Dia mengatur segala urusan dari langit dan bumi, kemudian
(urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari kadarnya (lamanya) adalah seribu
tahun tahun menurut perhitunganmu.
Berawal dari teori emanasi dari Neo-Platonisme
yang diislamkan oleh Al-kindi, kemudian dikembangkan oleh Al-Farabi, maka dengan
teori ini, Ibnu Sina berusaha untuk menjelaskan penciptaan alam, yang juga
disebutnya sebagi teori Nadhariatul-faid yang
mensintesiskan antara teori filsafat dan teori kalam islam.[15]
Dalam
pemikirannya, Ibnu Sina sangat dipengaruhi oleh gurunya Al-Farabi dan
Neo-Platomisme. Sehingga dalam menjelaskan penciptaan Ibnu Sina mengadopsi
pemikiran gurunya (Al-farabi) yang mengunakan teori emanasi dari Neo-platonisme
yang diislamkan oleh Al-kindi pada zaman sebelumnya.[16]
Dengan pemikiran dari gurunya, ia berusaha untuk merasionalkan wahyu yang ada
di dalam Al-Qur’an. Sehingga apa yang menjadi kepercayaan bagi umat islam itu
dapat dipercaya dan dan diterima oleh akal budi.
Menurut agama Islam dunia kita ini adalah baharu (ada permulaan), dan fana,
akan rusak dan binasa. Al-Quran sendiri dengan tegas mengatakan bahwa asal mula
kejadian alam ialah firman Allah. Yakni dengan berkata kun fayakun !.[17]
bagaimana proses terjadinya Kun fayakun
sendiri tidak dijelaskansecara mendetil. Menanggapi hal ini Ibnu Sina dalam
filsafatnya, dengan teori emanasi (Nadhiriatul-faid),
terjadinya alam ini adalah dengan cara ”melimpah”. Seperti melimpahnya cahaya
matahari atau melimpahnya panas dari api.[18]
Karena pemikiran Ibnu Sina sangat dipengaruhi
oleh gurunya Al Farabi, Ibnu Sina menganut paham yang sama dengan gurunya. Ia mengatakan
Tuhan ialah Akal Murni, seperti yang disebut Aristoteles sebagai Akal yang
berfikir.[19]
Akal murni itu esa adanya, artinya bahwa dengan akal itu berisi satu fikiran
saja, yakni senantiasa memikirkan dirinya sendiri. Dengan demikian Tuhan itu
adalah akal yang aqil (berfikir) dan ma-qul(di fikirkan). Dengan ta’aqqul ini mulailah ciptaan Tuhan.
“Takkala
Tuhan memfikirkan itu, timbulah suatu wujud baru atau terciptalah suatu akal
baru yang dinamakan oleh Al-Ffarabi sebagai Al aqlul-awwal (akal pertama). Akal
pertama ini lalu berta’aqul pula, memikirkan akal Tuhan, dan memikirkan dirinya
sendiri. Dengan ta’aqqul Tuhan melimpahkan Al’kluts-tsani (akal kedua) dan
ta’aqqul sendiri menimbulkan al-falakai aqsha (langit yang paling luar).
Dengan demikian, mulailah sifat
kejamakan (pluralitas) dari alam mahluk. Seterusnya akal kedua menimbulkan pula
al-aqluts tsalis (akal ketiga) bersama dengan timbulnya kuratul-kawakibits
tsbitah (langit bintang bintang). Dari akal ketiga melimpah pula al-aqlur-rabi
(akal keempat). Kemudian melimpah al-aqlul-khamis (akal kelima) bersama dengan
timbulnya langit bintang Musytari (Yupiter).
Setelah itu, lalu melimpah al aqlus-sadis (akal keenam) bersama dengan
langit mirrikh (Marsk). Selanjutnya al aqlus-sabi (akal ketujuh) bersama-sama
langit matahari, lalu aluqluts-tsmin (akal kedelapan) bersama-sama langit
bintang Zuhrah (Venus), al aqlul-tasi (akal kesembilan) bersama-sama langit
bintang Putharid (Merkurius), akhirnya aqlul’asyir bersama-sama dengan langit
bulan. Adapun al-aqlul asyir (akal kesepuluh) ini disebut juga al-aqlul-ta al (yang
aktif bekerja) yang disebut orang barat active
intelect. Sampai di sini, berhentilah pelimpahan barang-barang yang halus
dan tinggi, dan semua pokok-pokok tadi sudah meliputi bumi. Bumi berada di
tangah-tengah dan tidak berubah.”[20]
Dalam pemikiran Ibnu Sina (nadhariatul-faid), ia hanya menambahkan sedikit mengenai teori
gurunya. Takala akal pertama berta’aqqul
mengeluarkan akal kedua, di sampingnya juga mengeluarkan dua wujud lain (bukan
sesuatu seperti Al-Farabi) yaitu apa yang disebut jirmul-falakil-aqsha dan nafsul-falakil-aqsha[21].
Jirmul-falakil-aqsha bagi Ibnu
Sina ialah langit dengan semua planet-planetnya. Sedangkan yang dimaksud dengan
nafsul-falakil–aqsha itu ialah jiwa
dari langit dengan semua planet-planetnya itu.[22] Menurut Ibnu Sina tiap-tiap al-aqal itu menyebabkan timbulnya tiga
macam keadaan yaitu akal yang berikutnya juga mengeluarkan jirim langit dan plenetnya serta jiwa langit.[23]
Selain itu bagi Ibnu Sina akal pertama
merupakan limpahan langsung dari Tuhan, maka akal inilah yang paling sempurna dari
akal-akal lainnya. Akal pertama ini penuh dengan rasa cinta. Selanjutnya akal
kedua lebih rendah dari akal pertama dan akal ketiga lebih rendah lagi
kesempurnaannya dari akal kedua. Hal ini terus berlanjut, akal ke empat lebih
rendah lagi dari akal kelima, akal keenam lebih rendah lagi kesempurnaannya dibandingkan
akal kelima, hingga akal yang ke sepuluhyang jauh lebih rendah dari akal-akal
lainnya.
Berlimpahnya akal pertama dari Tuhan dan
seterusnya hingga sampai kepada akal
kesepuluh adalah tidak dimaksud oleh Tuhan dan tidak pula diatas tabiatnya.[24] Hal ini diungkapkan oleh Ibnu Sina demikian:
“Kalau Tuhan
mengingini melimpahnya akal pertama dari dirinya maka ini berarti bahwa barang
yang diingini itu adalah lebih tinggi tingkatnya dari yang mengingini, yaitu
Tuhan sendiri. Ini berarti bahwa Tuhan yang mengingini itu lebih rendah dari
pada yang diingini”.[25]
Dengan demikian bagi Ibnu Sina pelimpahan itu
terjadi berjalan atas kerelaan yang difikirkan (faidlu ridlal ma’qul).
Dengan
adanya proses pelimpahan dari akal (aqil),
yang disebut oleh orang barat sebagai active
intelek, atau pengerak dari segala sesuatu. Maka, terjadilah
penciptaan bumi dan seluruh isinya. Mulai dari tumbuhan, hewan, manusia, tanah, air, udara, batu-batuan, dan
lain-lain, yang saat ini dapat kita temukan dikehidupan sehari-hari. Mulai dari hal yang kelihatan sampai dengan hal yang tak kelihatan. Baik
yang berupa materi maupun tidak berbentuk materi.
Setelah membuktikan bahwa alam semesta ini
diciptakan pada suatu masa (muhdats), kemudian Al-Kindi hendak
mendemonstrasikan bahwa alam ini mempunyai Dzat yang menciptakan (muhdits). Untuk membuktikan adanya Allah Sang Pencipta, Al-Kindi mengajukan
beberapa argument.[26]
Pertama, bukti adanya Allah adalah diciptakannya alam semesta pada suatu masa.
Apapun yang diciptakan pada suatu masa, maka ia mempunyai pencipta. Setiap yang
memiliki permulaan waktu maka ia akan berkesudahan. Argumen kedua adalah
keaneragaman alam. Sebelum berargumen, al-Kindi menjelaskan makna dari istilah
‘satu’ (one/wahid). Kata ‘satu’ adalah istilah yang merujuk pada ‘satu’
(single) dari kumpulan beberapa objek dan merujuk pada ‘Esa’ (One), Sang
Pencipta. Untuk makna pertama, ia tersusun. dari beberapa objek, dan dapat
dibagi (divisible) kedalam beberapa bagian. Sedangkan untuk makna kedua
(One-ness, the Creator), Ia adalah satu yang tidak dapat dibagi-bagi
(indivisible). Selain ‘Yang Esa’ (One-ness) berarti berragam (multiple).
Ketiadaan Yang Esa juga berdampak pada ketiadaan yang berragam. Yang Esa
(One-ness) adalah penyebab adanya yang lain. Dialah Allah Sang Pencipta.
Argument ketiga adalah bahwa segala sesuatu mustahil dapat menjadi
penyebab atas dirinya sendiri. Karena jika ia sendiri yang menyebabkan atas
dirinya maka akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya.
Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Karena
itulah, penyebabnya harus dari luar sesuatu itu, yakni Dzat Yang Maha Baik dan
Maha Mulia dan lebih dahulu adanya dari pada sesuatu itu. Ia adalah Allah swt,
Dzat yang Maha Pencipta. Allah dalm filsafat Al-Kindi tidak mempunyai hakikat
dalam arti aniah dan mahiah. Bagi Al-Kindi Allah adalah unik. Ia hanya satu dan
tidak ada yang setara dengannya.[27]
Bukan ‘aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam,
bahkan ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi (al-hayula) dan
bentuk (al-shurat). Tuhan juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah,
karena Tuhan tidak termasuk genus atau species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada
yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik. Ia adalah Yang Benar Pertama
(al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wahid). Ia semata-mata
satu. Selain dari-Nya mengandung arti banyak.[28]
Sebagaimana kebanyakan umat Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah
pencipta (mubdi’). Tuhanlah yang menciptakan alam beserta isinya. Berbeda
dengan Aristoteles, menurutnya Tuhan tak memiliki ciri-ciri seperi Tuhan
Penyelenggara atau Pencipta, sebab akan turunlah derajat kesempurnaan-Nya jika
Ia memikirkan segala sesuatu selain yang sempurna. Tuhan, menurutnya adalah
penyebab gerak, akan tetapi dirinya sendiri tidak harus bergerak. Tuhan
melahirkan sesuatu yang bergerak (alam semesta) dengan jalan dicintai.[29]
Jadi bagi Al-Kindi, Tuhan bukanlah Pencipta alam semesta ini dalam pengertian
dari tiada menjadi ada. Tuhan dalam istilah Aristoteles adalah The Prime Mover
bukan The Creator.
Kesimpulan
Dari pemikiran yang ada, dapatlah penulis
simpulkan bahwa Tuhanlah yang menciptakan bumi berserta seluruh isinya. Semua
yang ada didalam Al-Qur’an, dapat kita pahami dengan akal budi. Sebab hal ini dapat dibuktikan oleh Ibnu Sina dengan mengunakan teori emanasi dari Plotinus yang disebutnya juga sebagai
teorinya nadhariatul–faid. Dengan
demikian dapatlah kita pahami apa yang ada dalam Al-Qur’an sangatlah rasional dan
logis, tidak dapat diragukan lagi kebenaranya
sebagai sesuatu yang menjadi kepecayaan bagi umat Islam. Sebab melalui
pembuktian Ibnu Sina dalam filsafat nadhariatul–faidnya
itu sangatlah logis, dan dapat dipahami secara dengan akal budi.
Dalam pemikiran Ibnu Sina apabila kita pahami
sangat masuk akal dan logis. Namun hal yang juga perlu kita ketahui apabila
Ibnu Sina mengatakan bahwa tiap-tiap akal mempunyai pendiriannya sendiri, maka
semua hal ini tidak secara langsung diciptakan oleh Tuhan melainkan biasan dari akal yang sebelumnya yang
berupa efek dari akal dan bukan suatu kreasi langsung dari Tuhan. Tuhan hanya
sebatas mengetahui dari apa yang ada saja. Setiap akal hidup sendiri tanpa
campur tangan Tuhan.
Selain itu, apabila semua yang tercipta di
dunia ini merupakan suatu biasan dari setiap akal dan bukan dari Tuhan sendiri,
maka dunia kita ini hanya suatu hal yang sistematispergerakannya tanpa adanya
campur tangan Tuhan. Lalu bila demikian, bagaimana dengan keajaiban pergerakan
terjadinya gerak planet-plenet, dan seluruh benda yang berada di luar angkasa,
berterbagan secara bebas beratus-ratus tahun lamanya hingga saat ini? tidakkah
semuanya akan bertabrakan bila dibiarkan begitu saja? Apakah hal ini suatu hal
yang mustahil bila semua itu tidak ada yang mengawasi dan mengaturya?.
Hal ini sama halnya dengan menyangkal adanya
kreasi Tuhan yang secara langsung menciptakan langit dan bumi sebagaimana yang
terdapat dalam Al Qur’an yang menegaskan bahwa bumi dan segala isinya adalah
suatu karya dan ciptaan Tuhan sendiri,baik yang kelihatan maupun yang tidak
kelihatan.Oleh sebab itu, apa yang dikatakan oleh Ibnu Sina dapat mengarah pada
suatu ke-musyrik-kan bagi umat Islam
dan menyangkal adanya kekuasaan Tuhan sebagai pencipta.
Hal ini dapat merujuk juga pada paham agnostisisme
jam “dinding”, yang berarti Tuhan mencipta, setelah itu Ia meningalkan ciptaannya.
Daftar Pustaka
Dunya, Sulaiman. 1960. Al-Isharat
wa al-Tanbihat (Remarks and Admonitions), Cairo.
Hasbulah, Bakry. 1961. Di Sekitar Skolastik Islam, Yogyakarta: Tinta Mas.
Ilyas, Supena. 2010. Pengantar
filsafat Islam, Semarang: Walisongo Press.
Isdaryanto, Jahanes Bosco. 2006. Sejarah Filsafat Abad Pertengahan, Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana.
Laba Laurensius. 2006. Sejarah Filsafat Islam, Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana
Malang.
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya
Media Pratama.
Sudarsono, 2010. Filsafat Islam, Jakarta: Rineka
Cipta. Cet 3.
Tjahjadi, Simon Petrus L. 2004. Pertualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan Para Filsuf Dari Zaman
Yunani Hingga Zaman Modern,Yokyakarta: kanisius.
Zar, Sirajuddin.
2012. Filsafat islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1]Tjahjadi, Simon Petrus L, Pertualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan
Para Filsuf Dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Yokyakarta, kanisius,
2004 hal 102.
[3]Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, dalam bahasa Yunani adalah Philosophia, Philo : Cinta /
ingin, Sophia : kebijaksanaan atau pengertian mendalam. Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan”. Pada dasarnya adalah sebuah studi tentang aktivitas
piker manusia, bahkan filsafat adalah aktivitas piker itu sendiri. Pada kenyataannya, aktivitas piker manusia itu tercermin dalam
sikap dan perilakunya, termasuk prilaku yang cenderung pragmatis sekalipun.
Sehingga bisa dikatakan bahwa setiap prilaku manusia adalah cerminan atau
symbol dari aktivitas pikirnya. Filsafat sebenarnya sudah sangat dekat dengan
kita, bahkan setiap saat kita terlibat dalam tindakan berfilsafat itu sendiri,
hanya saja selama ini keberadaannya belum kita sadari. Maka filsafat adalah
ilmu yang membicarakan tentang suatu objek yang tidak jauh dari kita, bahkan
kita sendiri. Cara berfikir filsafat adalah dengan spekulatif.
[5] Surat
Al-Baqoroh ayat 164
[6] Surat AL-Imron
ayat 191-192.
[9] Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam Hukum.
Hal: 166
[11] Drs.Sudarsono,
SH,M.Si, Filsafat Islam, ( Jakarta: Rineka Cipta, Desember 2010 ), 45.
[12] Surat Al-A’araf ayat 54
[13] Surat Al-Hajj ayat 70
[15] Bakry
Hasbullah SH.Di Sekitar Skolastik Islam,.hal 42.
[19] Drs.Sudarsono,
SH,M.Si, Filsafat Islam, h :51.
[26] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1999) ,45-46.
[27] Sirajuddin Zar, filsafat islam, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2012).86.
[28] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam., 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar