Potensi Santri
Melihat
sejumlah santri yang berduyun-duyun berjalan menuju masjid, atau ketika melihat
mereka duduk rapi berbaris pada shaf-shaf yang lurus menanti imam berdiri untuk
memimpin shalat berjamaah, fenomena seperti ini buat pencari bakat seperti
melihat gunung emas.
Gunung
emas sangatlah bernilai, namun nilainya baru akan terasa dan dinikmati ketika
pasir dan biji emas itu sudah dilebur dan diolah menjadi emas batangan, atau
dibentuk oleh tangan-tangan ahli para pengrajin hingga menjadi cincin, kalung,
gelang, dan bentuk-bentuk kerajinan lain seperti hiasan.
Itulah santri-santri
di pondok-pondok pesantren. Berbekal kemauan keras, keikhlasan, kesungguhan,
ketekunan, kesederhanaan, ketawakkalan dan nawaitu yang mulia, mereka mulai
nyantri di pondok-pondok pesantren. Bekal yang disebutkan tadi itu, jika boleh
dikisakan, dapat dikiaskan bagaikan butir dan biji emas yang terurai di
sungai-sungai dan perut-perut bumi.
Betapa tidak,
modal-modal seperti itulah yang di butuhkan seseorang untuk menjadi pakar dan
cendikiawan. Atau bermodalkan hal dan sifat seperti itu Muhammad bin Idris
menjadi Imam al-Syafi’I, Muhammad ibn Ismail menjadi Imam al-Bukhori, Yahya ibn
Syaraf menjadi Imam al-Nawawi, ahmad ibn Ali menjadi al-Hafiz Ibn Hajar
al-Asqallani, Abdurrahman ibn Abi Bakar menjadi Jaluddin al-Suyuti.
Bacalah sejarah
para imam-imam tadi, rasanya, masa-masa remajanya tidak jauh berbeda dengan kondisi dasar keilmuan seorang santri di
pondok pesantren manapun.
Fenomena Terbalik
Yang terjadi
dan Nampak jelas terlihat, potensi-potensi itu banyak sekali yang terbuang,
hanyut terbawa arus. Wal hasil, ketika biji-biji emas yang awalnya bertumpukan
pada satu tempat tertentu, terbawa arus sungai yang mendorongnya jauh terdampar
ratusan kilometer dari tempat asal. Akibatnya, tumpukan itu berubah menjadi
butiran. Lalu, apakah arti sebuah biji emas yang sekecil itu.
Emas adalah
emas, emas tetaplah emas. Tapi sekali lagi, cincin emas seberat 1 gram saja,
lebih berharga ketimbang sebutir pasir emas. Pasir-pasir emas itulah yang
akhirnya mengalir dari pesantren ke muara-muara sungai kehidupan dan
kemasyarakatan.
Hasilnya,
banyak santri yang hanya pandai memimpin tahlil, memimpin do’a dan menjadi imam
shalat di musholla atau masjid kampungnya. Mereka puas dengan hasil seperti
ini, meski sudah nyantren puluhan tahun di sebuah pondok pesantren.
Sekali lagi,
memimpin do’a, memimpin tahlil, menjadi imam, bukanlah pekerjaan-pekerjaan yang
kurang baik apalagi hina. Semua itu merupakan amalan yang mulia, namun hal-hal
tadi bukanlah pekerjaan, bukan profesi.
Seharusnya,
pasir dan biji emas itu diolah, diramu, diracik lalu dikemas menjadi barang dan
perhiasan benilai tinggi.
Ketika seorang
santri belum lagi menjadi santri, mereka dapat diumpamakan sebagai butir pasir,
dan bij besi. Barulah melalui prosesing pendidikan dasar, mereka menjadi biji
emas.
Karena itu,
jangan biarkan proses ini selalu gagal atau banyak gagalnya. Gantilah alat yang
sudah kadaluarsa. Gunakan alat-alat canggih yang tetap menjadikan emas tetap
emas. Gunakan metode dan cara baru yang lebih baik. Gunakan kitab yang tidak
lagi harus berkertas kuning, putihpun tidak masalah, tidak mengurangi bobot
ketika kitab Arab tadi sudah tidak lagi gundul. Gunakan komperasi sebagai
pertimbangan. Jawablah tantangan sesuai zamannya.
Mengapa ?
Imam Syafi’I
tidaklah menjadi imam mazhab ketika masih harus mengikuti alur pikir imam malik
dan Imam Abu hanifah sebagai pendahulunya. Begitu juga dengan hamper semua
pakar dan ulama yang terkenal dan sangat dihormati. Sebutlah Imam al-Ghazali,
Imam al-Rafi’I, Imam al-Nawawi, mereka tidak akan mendapatkan predikat sebagai Aimmah al-Mazhab al-Syafi’I jika tidak
dapat memilih, memilah, mentarjih dan menguatkan pendapat tertentu. Karenannya banyak
sekali pendapat mereka yang tidak sama dengan pendapat Imam al-Syafi’I sendiri.
Dalam bidang
disiplin Hadits, antara Imam Ahmad, Imam al-Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu
Dawud, Imam al-Tirmidzi ada talian guru dan murid. Namun talian yang erat ini
sama sekali tidak menghalangi mereka untuk berkarya dan kadang-kadang berbeda
pendapat dan berbeda metodologi.
Demikian pula
halnya dengan al-Hafiz al-Iraqi, Ibn Hajar, al-Sakhawi dan al-Suyuti. Antara mereka
ada talian guru dan murid. Namun banyak ditemukan perbedaan pendapat antar
mereka. Hal itu tanpa mengurangi hormat mereka kepada guru mereka
masing-masing.
Indoneisa,
dengan sekian ribu pesantren dan puluhan perguruan tinggi, nyaris belum
melahirkan cendikia sekelas Imam al-Suyuti atau al-Nawawi, apalagi sekelas Ibn
Hajar dan al-Ghazali. Atau sekelas al-Qardhawi dan al-Zuhayli sekarang. Ulama-ulama
kita yang ada, kebanyakan masih hasil pendidikan di luar negeri, Timur-tengah
khususnya.
Menata
Jika demikian
adanya, bukankah sudah seharusnya para santri lebih mempersiapkan diri
menghadapi tantangna yang lebih besar.
Bukankah seharusnya
di benak pikiran santri tertanam semboyan untuk menjadi orang yang terbaik. Terbaik
sesuai apa yang digariskan Rasulullah SAW. Bacalah hadits-hadits di bawah ini :
خيركم من تعلم القرآن وعلمه
خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم
لأهلي
من حسن اسلام المرء تركه ما لا
يعنيه
- Sebaik-baik
kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya ( HR.
Al-Bukhori )
- Sebaik-baik
kalian adalah yang lebih bermanfaat untuk sesame ( HR. An Nasa’I )
- Diantara
kebaikan seseorang adalah meninggalkan pekerjaan yang tidak layak / tidak
ada kepentingannya (HR. Muslim )
Bukan
hanya ditemukan di hadits-hadits Rasulullah SAW saja, akan tetapi banyak sekali
ayat-ayat al-Qur’an yang bermaksudkan sama. Bacalah ayat di bawah ini :
تَعْمَلُونَ كُنْتُمْ
بِمَا فَيُنَبِّئُكُمْ وَالشَّهَادَةِ الْغَيْبِ عَالِمِلَىٰ إِ وَسَتُرَدُّونَ وَالْمُؤْمِنُونَ
وَرَسُولُهُ عَمَلَكُمْ اللَّهُ فَسَيَرَى اعْمَلُوا وَقُلِ
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah
dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu
akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan ( QS
al-Taubah 9:105 )
(3) بِالصَّبْرِوَتَوَاصَوْ الْحَقِّبِ وَتَوَاصَوْا
الصَّالِحَاتِ وَعَمِلُوا آَمَنُوا الَّذِينَ إِلَّا (2) خُسْرٍ لَفِي الْإِنْسَانَ إِنَّ (1) وَالْعَصْرِ
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati
supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).
( Dr.Ahmad Luthfi Fathullah,M.A )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar