Oleh : A.Reza Hutama AL-Faruqi
Surat
Asy-Syu’aro ayat 88-89:
(Yaitu) di hari
harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali bagi orang-orang yang menghadap
Allah dengan hati yang bersih. (Asy-Syu’ara’: 88-89)
Dalam
makalah ini saya akan membahas tentang hubungan antara dosa dan
bencana yang menimpa umat manusia sebagaimana yang diterangkan di dalam
Al-Qur’an. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman dalam Surat Ar-Ruum ayat 41
yang berbunyi:
Artinya: “Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Allah juga
berfirman dalam Surat An-Nahl ayat 112:
Artinya: “Dan
Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya
aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap
tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah
merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang
selalu mereka perbuat”
Seorang
ulama’ yang bernama Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu memberi ulasan terhadap
kedua ayat tersebut dengan mengatakan: “Ayat-ayat yang mulia ini memberi
pengertian kepada kita bahwa Allah itu Maha Adil dan Maha Bijaksana, Ia tidak
akan menurunkan bala’ dan bencana atas suatu kaum kecuali karena perbuatan
maksiat dan pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah” (Jalan
Golongan Yang Selamat, 1998:149)
Kebanyakan
orang memandang berbagai macam musibah yang menimpa manusia hanya dengan logika
berpikir yang bersifat rasional, terlepas dari tuntutan Wahyu Ilahi. Misalnya
terjadinya becana alam berupa letusan gunung berapi, banjir, gempa bumi,
kekeringan, kelaparan dan lain-lain, dianggap sebagai fenomena kejadian alam
yang bisa dijelaskan secara rasional sebab-sebabnya.
Demikian
dengan krisis yang berkepanjangan, yang menimbulkan berbagai macam dampak
negatif dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masyarakat tidak merasakan
kehidupan aman, tenteram dan sejahtera, hanya dilihat dari sudut pandang logika
rasional manusia. Sehingga, solusi-solusi yang diberikan tidak mengarah pada
penghilangan sebab-sebab utama yang bersifat transendental yaitu kemaksiatan
umat manusia kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala Sang Pencipta Jagat Raya, yang
ditanganNyalah seluruh kebaikan dan kepadaNya lah dikembalikan segala urusan.
Bila
umat manusia masih terus menerus menentang perintah-perintah Allah, melanggar
larangan-laranganNya, maka bencana demi bencana, serta krisis demi krisis akan
datang silih berganti sehingga mereka betul-betul bertaubat kepada Allah.
Marilah
kita lihat keadaan di sekitar kita. Berbagai macam praktek kemaksiatan terjadi
secara terbuka dan merata di tengah-tengah masyarakat. Perjudian marak dimana-mana,
prostitusi demikian juga, narkoba merajalela, pergaulan bebas semakin
menjadi-jadi, minuman keras menjadi pemandangan sehari-hari, korupsi dan
manipulasi telah menjadi tradisi serta pembunuhan tanpa alasan yang benar telah
menjadi berita setiap hari.
Pertanyaannya
sekarang, mengapa segala kemungkaran ini bisa merajalela di tengah-tengah
masyarakat yang mayoritas muslim ini? Jawabannya adalah tidak ditegakkannya
kewajiban yang agung dari Allah Subhannahu wa Ta'ala yaitu amar ma’ruf nahi
mungkar, secara serius baik oleh individu maupun pemerintah sebagai institusi
yang paling bertanggung jawab dan paling mampu untuk memberantas segala macam
kemungkaran secara efektif dan efisien. Karena pemerintah memiliki kekuatan dan
otoritas untuk melakukan, meskipun kewajiban mengingkari kemungkaran itu
merupakan kewajiban setiap individu muslim sebagaimana sabda Rasulullah
Shalallaahu alaihi wasalam :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
Artinya:
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan
tangannya, bila tidak mampu ubahlah dengan lisannya, bila tidak mampu ubahlah
dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (Hadits shahih riwayat
Muslim)
Namun
harus diketahui bahwa memberantas kemungkaran yang sudah merajalela tidak hanya
dilakukan oleh individu-individu, karena kurang efektif dan kadang-kadang
beresiko tinggi. Sehingga kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar itu bisa dilakukan
secara sempurna dan efektif oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Usman bin Affan Radhiallaahu anhu , khalifah umat Islam yang ketiga:
“Sesungguhnya
Allah mencegah dengan sulthan (kekuasaan) apa yang tidak bisa dicegah dengan Al-Qur’an”
Disamping
itu amar ma’ruf nahi mungkar merupakan salah satu tugas utama sebuah
pemerintahan, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Sesungguhnya kekuasaan mengatur masyarakat adalah kewajiban agama yang paling besar, karena agama tidak dapat tegak tanpa negara. Dan karena Allah mewajibkan menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar, menolong orang-orang teraniaya. Begitu pula kewajiban-kewajiban lain seperti jihad, menegakkan keadilan dan penegakan sanksi-sanksi atau perbuatan pidana. Semua ini tidak akan terpenuhi tanpa adanya kekuatan dan pemerintahan” (As Siyasah Asy Syar’iyah, Ibnu Taimiyah: 171-173).
“Sesungguhnya kekuasaan mengatur masyarakat adalah kewajiban agama yang paling besar, karena agama tidak dapat tegak tanpa negara. Dan karena Allah mewajibkan menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar, menolong orang-orang teraniaya. Begitu pula kewajiban-kewajiban lain seperti jihad, menegakkan keadilan dan penegakan sanksi-sanksi atau perbuatan pidana. Semua ini tidak akan terpenuhi tanpa adanya kekuatan dan pemerintahan” (As Siyasah Asy Syar’iyah, Ibnu Taimiyah: 171-173).
Apabila
kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar itu tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
maka sebagai akibatnya Allah akan menimpakan adzab secara merata baik kepada
orang-orang yang melakukan kemungkaran ataupun tidak. Hal ini ditegaskan oleh
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, dalam sebuah haditst Hasan riwayat
Tarmidzi:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ
لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ
لَيُوْشَكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ
فَلاَ يُسْتَجَابَ لَكُمْ.
Artinya: “Demi
Allah yang diriku berada di tanganNya! Hendaklah kalian memerintahkan kepada
yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar atau Allah akan menurunkan siksa
kepada kalian, lalu kalian berdo’a namun tidak dikabulkan”.
Demikian pula
Allah menegaskan di dalam QS. Al-Maidah ayat: 78-79, bahwa salah satu sebab
dilaknatnya suatu bangsa adalah bila bangsa tersebut meninggalkan kewajiban
saling melarang perbuatan mungkar yang muncul di kalangan mereka.
Artinya: “Telah
dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra
Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka
satu sama lain tidak melarang perbuatan mungkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat”
Yang
dimaksud laknat adalah dijauhkan dari rahmat Allah Subhannahu wa Ta'ala .
Dengan demikian supaya bangsa ini bisa keluar dan terhindar dari berbagai
krisis dalam kehidupan di segala bidang dan selamat dari beragam musibah dan
bencana, hendaklah seluruh kaum muslimin dan para pemimpin atau penguasa
mereka, bertaubat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan memerintahkan kepada
yang ma’ruf dan melarang perbuatan-perbuatan mungkar sesuai dengan kemampuan
dan kapasitas masing-masing, mentaati Allah Ta’ala dan menjauhi seluruh
larangan-larangan dalam seluruh aspek kehidupan.
Kesimpulan
Kemaksiatan manusia kepada Allah Rabbul ‘Alamin merupakan penyebab utama
terjadinya berbagai musibah yang menimpa umat manusia baik itu berupa bencana
alam maupun krisis di berbagai bidang kehidupan.
Satu-satunya jalan untuk terhindar
dari segala musibah tersebut dan dapat menikmati kehidupan yang aman, tenteram,
damai dan sejahtera adalah dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya
Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dalam seluruh aspek kehidupan yang ada
dengan penuh ketundukkan, kecintaan dan keikhlasan.
Segala do’a dan istighatsah yang dilakukan umat Islam supaya bisa keluar
dari segala macam musibah tidak akan dikabulkan oleh Allah kecuali bila kaum
muslimin secara sungguh-sungguh memerintahkan kepada yang ma’ruf dan memberantas
segala yang mungkar.